Kamis, 24 April 2014

Puzzle - Saat Hati Dirangkai (2)

Tittle: Puzzle – Saat hati dirangkai
Author: Nurul Fauziah / @ziziphong
Genre: Fiksi
##
*Tak ada manusia yang mampu hidup sendiri
Tak ada manusia yang tak ingin disayangi
Tak ada manusia yang tak berharap
Dan aku adalah manusia yang mengharapkanmu*
Bel sekolah yang berbunyi membuat Rey dan Vera lari dari parkiran sampai kelas mereka masing-masing. Mereka berlari disepanjang koridor dengan tawa, lebih tepatnya Vera menertawakan Rey yang sempat panik saat Vera memperkenalkan dirinya sebagai pacar Rey dihadapan Sinta yang jelas-jelas sedang ditaksir dan menaksir Rey.
  “Sialan lo, Kak! Ntar kalok sampek Sinta mikir macem-macem gimana?!” Rey menyalahkan sikap Vera sambil berlari kecil dikoridor.
Vera mengusap keningnya yang sedikit mengeluarkan keringat, “Alah, siapa sih di sini yang belom tau kita kakak-adik. Udah ah, kita tu dah telat..”Ucap Vera.
Rey berhenti berlari dan membuat Vera yang ikut berhenti juga, “Kenapa?” Tanya Vera akhirnya.
  “Gakpapa. Lo baik-baik ya, Kak dikelas. Gue ke kelas duluan.” Ucap Rey lalu memisahkan diri dari Vera.
Vera melihat punggung Rey yang akhirnya hilang pada persimpangan jalan, “Itu anak kenapa, sih?” Vera menatap heran kepergian Rey.
Vera menggelengkan kepala, lalu berjalan dan BUUG!
Vera sedikit terpental kebelakang, keningnya baru saja menabrak sesuatu. Ia memegang keningnya dan melihat apa yang ia tabrak. Matanya membulat, tubuhnya sedikit gemetar. Canggung.
  “Sori, Ver. Gak sengaja, gue gak liat..”
  “Gakpapa. Gue ke kelas dulu”Vera memotong orang yang ditabrak atau menabraknya.
Vera pergi meninggalkan orang itu dan masuk kelasnya, “Mau kemana, sih?” Tanya Vera pada Zena teman sebangkunya saat berpapasan dengan Zena di depan pintu kelas.
Zena memasukkan bolpen ke sakunya, “Kemana aja boleh, kita cuma dapet tugas ngerjain halaman lima-delapan.” Ucap Zena.
  “Oke, tungguin. Gue taruh tas dulu.” Vera menaruh tas nya dibangku dan mengeluarkan buku matematikanya.
  “Kita ngerjain di lapangan aja ya, Ver.” Zena menunjuk bangku dipinggir lapangan.
Vera menerawang ke arah lapangan, “Bilang aja lo nungguin Ricky. Jadwal mereka olahraga kan sekarang. Basi banget alesan lo”
Zena cuma nyengir saat mendengar jawaban Vera yang artinya modusnya untuk melihat Ricky –adek kelas incerannya- diketahui Vera, “Gakpapalah. Itung-itung bantu temen pedekate” Zena mengangkat kedua alisnya sambil tersenyum centil.
  “Hmm..yadeh” Vera menggumam dan berjalan di depan Zena. Matanya menangkap sosok yang kini berada di tengah lapangan. Tanda kelas yang dipakainya sama seperti yang dipakai Vera dan Zena.
  “Jangan di situ deh, dimana aja. Tempat lo bisa liat Ricky tapi jangan di bangku itu” Vera reflek membalikkan badan dan membuat Zena nyaris menabraknya.
  “Kenapa sih? Disitu kan adem juga, Ver” Zena bicara sambil melihat arah mata Vera. Zena menghembuskan nafasnya, “Tenang ada gue. Kalok keadaan gak ngenakin, lo boleh pergi deh. Please!” Zena mengatupkan tangannya memohon agar Vera tetap mau duduk dibangku lapangan.
Vera memutar bola matanya sambil menggigit bibirnya pelan, “Oke..” Ucapnya pelan.
  “Yeey! Lo emang paling ngerti gue deh!” Zena berjingkrak senang lalu menarik Vera ke seberang lapangan untuk duduk dibangku yang dia tunjuk.
Vera membuka bukunya, ia mulai melihat soal-soal yang diberi guru matematikanya. Reva manggut-manggut sambil membolak balik catetannya mencoba memahami bagaimana cara mengerjakan soal tersebut. Sedangkan Zena sedang menunggu kehadiran Ricky karena teman-teman sekelas Ricky sudah akan memulai pemanasan.
  “Zen, lo ngerjain nomer sebelas sampek dua puluh ya. Gue satu sampek sepuluh”Ucap Vera.
Zena melihat soal yang ia dapat, “Lo gila,Ver. Gue gak bisa. Lo ajadeh yang sebelas sampek dua puluh” Zena memprotes pembagian pekerjaan. Walaupun aslinya tugas itu bukan tugas kelompok. Tapi mereka biasa membagi tugas dan menyalin apa tugas masing-masing selesai.
  “Gue juga gak bisa. Kan lo ikut bimbel masak lo belom diajarin ini sih. Gue gak ngerti sama sekali ini apaan” Vera tetap bersikukuh untuk tak mengerjakan soal yang menjadi bagian Zena.
  “Gue aja.Gue bisa soal itu” Ucap seseorang yang tanpa sadar sudah berdiri dihadapan Vera dan Zena.
  “Eng..” Vera baru saja akan menolak tapi Zena sudah keburu menyetujuinya.
  “Oke. Benerankan lo bisa?” Ucap Zena yang membuat mata Vera melotot ke arahnya.
Zena memberikan bukunya pada orang itu, “Bisakan?” Zena mengulangi pertanyaannya lagi.
Orang itu mengangguk dan duduk disamping Zena. Vera baru saja ingin menutup bukunya dan pergi dari tempat itu, namun Zena mengambil bukunya dan membuatnya tetap stay ditempat itu.
  “Lo sama Vera kerjain satu sampek sepuluh aja. Biar yang lain gue yang ngerjain.” Ucap orang itu sambil tersenyum ke arah Zena dan Vera.
  “Okesip” Zena mengacungkan jempol.
Vera risih berada pada posisi seperti ini. Dia harus duduk bersama seseorang yang tidak ia harapkan, seseorang yang juga ada di depan pintu masuk sekolahnya tadi pagi.
  “Ver, nomer enam gue gak bisa. Lo bisa gak?” Tanya Zena.
Vera menggeleng. Menurutnya tugas ini tak pantas di hibah kan pada anak kelasnya yang notabennya pemalas. Lagipula bab ini baru dibahas satu kali, “Gak ngerti gue”
  “Yang mana?” Tanya orang yang tadi mengajukan diri untuk membantu Vera dan Zena.
Zena menoleh sambil menunjuk nomer yang ia maksud, “Ini nih. Gue sama Vera gak bisa.” Ucapnya.
  “Oh ini harus digambar dulu kurvanya buat nentuin titik x sama y” Jelas orang itu sambil menerangkan diselembar kertas buram yang sudah banyak coret-coretan pekerjaannya.
  “Lo pinter amat sih, Dit” Zena memuji orang itu yang tak lain adalah Radit. Teman sekelas dan mantan dari Vera.
Radit hanya tersenyum sebentar lalu fokus kembali pada pekerjaannya. Vera yang sudah tau bagaimana Radit hanya tersenyum remeh. Dia tau radit pintar dalam bidang matematika. Itu terbukti dari hasil ujian kelulusan SMP, Radit mendapat nilai sepuluh dalam mata pelajaran matematika.
  “Udah nih. Udah sampek dua puluh, kalian cocokin sama kerjaan kalian aja. Ntar kalok ada yang beda bilang ya. Aku ke kantin bentar” Radit menyerahkan bukunya pada Zena dan Vera lalu meninggalkan mereka berdua.
Vera menghembuskan nafas berat dan menelungkupkan kepalanya. Satu jam bersama Radit membuat pikirannya melayang-layang kemana-mana. Apalagi saat Radit berada disampingnya saat menjelaskan cara mengerjakan padanya dan Zena. Jantungnya terasa berdesir pelan dan pipinya terasa hangat.
  “Kenapa sih?” Zena bertanya pada Vera sambil asik menyalin jawaban Radit.
Vera mendongakkan kepalanya dan menoleh ke arah Zena tanpa menjawab pertanyaan Zena. Vera malah asik mengetuk-ngetukan jarinya pada meja yang mereka pakai.
  “Kenapa?” Tanya Zena lagi.
Vera menoleh, “Apanya yang kenapa?” Tanya Vera pada akhirnya.
Zena merapikan buku-bukunya, “Kenapa lo putus sama Radit?”
Vera tercengang mendengar pertanyaan itu. Memang bukan hal baru mendengar pertanyaan itu muncul dari mulut Zena, tetapi tetap saja semakin sering Zena bicara semakin Vera menutup diri untuk tak menceritakan alasannya.
  “Takdir kalik” Jawab Vera asal.
Zena tersenyum miring, “Radit tu perfect. Lo nemuin kekurangan apa sih di dalem dirinya?” Tanya Zena lagi. Dia memang ingin tahu apa alasannya. Bukan, bukan hanya sekedar ingin tahu tapi juga ingin membantu. Membantu apabila Vera ingin mencoba move on  dari Radit.
  Vera mendesah kasar, “Lo gak tau dia sebenernya, Zen” Ucapnya datar sambil menatap anak-anak kelas dua bermain basket.
  “Ya makanya lo cerita ke gue. Lo aja gak pernah cerita gimana gue tau. Masak iya gue harus jadi mantan Radit dulu. Kan gak mungkin.” Zena terus memojokkan Vera.
  “Yaudah lo coba aja pacaran sama dia. Siapa tau jodoh” Vera menjawab semakin asal.
“Hei, serius amat ngobrolnya. Nih aku beliin minum” Radit datang sambil membawa dua cup es teh dan satu cup minuman yang terlihat seperti kopi.
  “Ini teh buat kamu, Zen. Yang ini kopi tiramisu buat kamu, Ver” Ucap Radit sambil menaruh cup-cup minuman itu di hadapan Zena dan Vera.
Zena langsung berterimakasih dan menyeruput es teh nya. Sedangkan Vera hanya menatap kosong cup kopi tiramisunya.
 Tiramisu untuk kamu, Moccacino untuk aku. Vera mengingat ucapan Radit yang dahulu.
  “Gue gak suka kopi” Ucap Vera sambil menyodorkan kopi pemberian Radit pada Radit.
Radit mengernyitkan dahi, “Lhoh bukannya..”
  “Enggak. Aku gak suka kopi.”
  “Yaudah kamu teh aja nih. Belom aku minum kok” Radit menyodorkan es teh yang ia pegangi.
  “Aku gak mau. Kamu kasih ke  yang lain aja” Sahut Vera cepat.
 “Rick! Ricky!” Radit memanggil satu nama anak yang tak asing ditelinga Vera apalagi Zena.
Ricky –adik kelas incaran Zena- menoleh ke arah Radit. Radit memberi isyarat pada Ricky untuk menghampirinya. Ricky berlari kecil menuju tempat Radit. Zena sudah menyikut Vera berkali-kali karena panik.
  “Duuuhh..ganteng banget Ver. Kok Radit kenal sih” Zena berbisik pelan pada Vera.
“Buat lo..” Radit memberi cup es teh miliknya pada Ricky.
Ricky menerimanya dengan senang hati, “Buat gue? Thanks, Kak. Gue balik ke tempat temen-temen ya.”
  “Ganteng banget!” Pekik Zena yang membuat Radir menoleh.
Zena lalu membungkam mulutnya sendiri, “Kenapa? Naksir ya sama Ricky?” Goda Radit sambil menaik turunkan alisnya.
  “Eh..eh..” Zena jadi salah tingkah, “Jangan bilang ya, Dit ke orangnya. Jaim lah masak kakak kelas naksir adik kelas. Tapi kok lo bisa kenal sih? Siapa lo? Adik lo? Eh, gak mungkin lo kan anak tunggal. Sepupu? Atau tetangga lo? Kenalin dong”
Namun sama sekali tak di gubris Radit. Radit sedang menatap Vera yang juga menatapnya. Mata mereka bertemu, saling membaca pikiran dari lawan yang ia lihat. Mata Vera yang terlihat memancarkan kelembutan dan mata Radit yang terlihat tegas. Ada yang mereka bicarakan dari tatapan mata itu. Entah apa dan bagaimana menjelaskannya, merekapun tak mengerti.
  “Ehem..” Zena mendehem. Membuat Radit dan Vera tersadar dari kekaguman masing-masing.
  “Napa lo, Dit ngeliat Vera serius amat. Naksir? Apa pengen balikan?” Tanya Zena.
Radit terkekeh, “Apaan sih lo, Zen. Ricky tu tetangga gue. Mau gue kenalin?” Radit menggoda Zena kembali.
Zena merangkul Vera, “Kalok ini temen gue. Gimana? Lo mau..”
Vera melepaskan diri dari rangkulan Zena, “Gue mau balik ke kelas.”  Zena merapikan buku-bukunya dan membawanya pergi dari bangku itu. Bercandaan Zena membuatnya tak ingin lama-lama berada di sana.
  “Eh..Eh” Zena ikut merapikan buku-bukunya saat Vera mulai beranjak dari tempat itu, “Tungguin dong, Ver.”
Vera sama sekali tak mendengar permintaan tunggu dari Zena. Ia sudah dongkol abis di pojokkan oleh Zena.
  “Aduh, mana ini bolpenku..” Zena panik sambil mencari-cari bolpen miliknya. Sedangkan Radit hanya terdiam di sampingnya.
  “Zen..” Radit memanggil Zena pelan namun tetap terdengar.
  “Apa?”
  “Gue boleh ngomong sama lo bentar gak? Bentar aja.” Mohon Radit tegas.
Zena memiringkan kepalanya, “Ngomong apa?”
  “Vera.”
Vera  tetap berjalan di koridor. Ia akhirnya berhenti karena merasa Zena tak mengikutinya. Benar saja, Zena memang tak mengikuti atau mengejarnya. Vera makin dongkol apalagi setelah melihat ke arah bangku di lapangan yang ia pakai tadi.
  Zenaaaaaa..lo malah ngapain sih di sana. Vera membatin dengan geram melihat Zena yang tak mengejarnya tetapi malah asik ngobrol dengan Radit.
Vera melanjutkan langkahnya menuju kelas. Sesampainya di kelas ia merogoh isi tasnya, mencari ponselnya. Ia mengetik pesan pada seseorang,
  Dimana? Istirahat ketemu di tempat biasa ya. Bete banget gue. Begitu isi pesannya, ia mengetik nama pengirim dan mengirim pesan tersbut.
Satu jam pelajaran sejarah makin terasa lama semenjak Zena berubah menjadi pendiam. Vera sempat beberapa kali memngada-adakan topik untuk membuat Zena yang sekarang diam menjadi hyperaktif seperti biasanya, tapi usahanya gagal. Jadilah, Vera ikut-ikutan diam selama pelajaran sejarah berlangsung.
Saat bel tanda istirahat berbunyi dan Pak Romi sudah keluar dari kelas, Vera merogoh kantongnya untuk mengambil ponsel.
Vera mengetik nama yang tadi sempat ia kirimi pesan, “Halo? Udah disana?” Tanya Vera setelah sambungan terhubung, “Oke, gue ke sana” Ucap Vera dan memutuskan sambungan.
  “Mau kemana?” Tanya Zena yang mendengar percakapan Vera.
Vera menoleh, akhirnya Zena bersuara juga, “Mau ketemu Rey. Mau ikut?” Vera memang biasa mengajak Zena bertemu Rey.
Zena menggeleng, “Yaudah aku duluan” Pamit Vera lalu meninggalkan kelas.
  “Mau kemana?”
  “Eh?” Zena kaget saat Radit sudah berdiri disampingnya, “Ketemu Rey katanya.” Jawab Zena tanpa bertanya siapa yang di maksud Radit.
Vera melangkahkan kaki menuju taman belakang sekolahnya. Taman ini memang ramai saat istirahat. Vera mencari-cari sosok Rey, biasanya mereka akan duduk di bawah pohon ketapang, satu-satunya pohon ketapang yang ada di sekolah mereka. Seseorang melambai-lambaikan tangan ke arah Vera, Vera melihat dan mengangkat tangannya, memberi isyarat bahwa dia sudah melihat lambaian tangan itu.
  “Haaah..” Vera mendesah kasar sambil mendudukkan diri disamping Rey.
Rey mengeluarkan beberapa makanan dari kantong plastik hitam yang ia bawa, isinya minum dan beberapa snack yang ia beli di kantin sebelum datang ke taman. Vera selalu senang bertemu Rey saat istirahat di tempat ini. Rey selalu membeli beberapa snack dan mereka akan memakannya seakan-akan sedang piknik keluarga.
  “Jadi, kali ini apa masalahnya?” Rey membuka pembicaraan setelah menegak beberapa air.
Vera bertopang dagu, “Zena.” Jawabnya singkat
  “Zena?”
Vera mengangguk, “Tadi gue ngerjain tugas bareng dia..” Vera menggigit biskuit yang di beli Rey.
  “Terus?” Rey bertanya sambil membuka bungkus chiki yang ia beli.
  “Sama if-you-know-what-i-mean juga” Lanjut Vera dan sukses membuat kunyahan Rey terhenti.
  “if-you-know-what-i-mean? Kok bisa?”
Vera menghembuskan nafas pelan, “Ya..”
  “Tunggu deh, kak. Bisa gak sih kita bikin inisial lebih singkat. If-you-know-what-i-mean  itu panjang banget” Rey protes pada Vera yang memberi inisial nama orang yang sedang mereka bicarakan yang terlalu panjang.
Vera melengos, ada –ada ajasih Rey. Batinnya. “Yaudah kamu mau kita pakek inisial apa?” Tanya Vera pada Rey akhirnya.
Rey sedikit berpikir, “Gimana kalok if-you-know-what-i-mean-i-know-what-you-mean” Ucap Rey dengan satu tarikan nafas.
  “Sinting!”Vera mengumpat sambil menoyor kepala Rey.
Rey terkekeh, “Ya apakek gitu” Ucap Rey.
Vera mendesis, “Issh.. Udahlah ajalah. Gak usah banyak protes lu.”
Rey hanya bergumam, “Terus?” Tanyanya siap mendengarkan kelanjutan cerita Vera.
 “Ya, soalnya Zena minta  if-you-know-what-i-mean ngerjain tugas yang aku sama Zena  gak bisa ngerjain”
  “Jadi lo bete karena itu?”
  “Ya enggak. Pas akhir-akhir si if-you-know-what-i-mean beliin gue sama Zena minum..”
  “Terus?” Rey memotong ucapan Vera yang membuat Vera langsung membungkam mulut Rey.
  “Diem dulu. Cerewet amat!” Vera melepaskan bungkamannya.
  “Ya makanya cerita gak usah pakek jeda kelamaan. Istirahat kita cuma limabelas menit” Protes Rey.
  “Yaudah, intinya tadi Zena nanyain gue kenapa gue putus sama if-you-know-what-i-mean. Dia juga ngenalin gue ke if-you-know-what-i-mean seakan-akan gue sama dia baru ketemu dan nanya ke if-you-know-what-i-mean apa dia mau balikan sama gue.”
Rey baru saja akan menanggapi tapi dia menutup mulut lagi saat tau Vera sudah siap membungkam mulutnya lagi, “Terus akhirnya gue tinggalin dia di lapangan bareng if-you-know-what-i-mean. Bukannya ngejar gue, mereka malah ngelanjutin ngobrol. Bete gak sih?” Vera menyudahi ceritanya sambil menegak minuman Rey.
  “Lo jealous,Kak”
  “Uhuuk..uhuuk..” Vera tersedak mendengar pernyataan Rey.
Rey menepuk pelan punggung Vera, “Santai, kak..gak usah salting gitu.” Rey terkekeh
  “Sialan lo! Bisa-bisanya bilang gue jealous”
Rey makin terpingkal melihat ekspresi kakaknya itu, “Yaudah, gak jealous. Terus sisi betenya dimana? Zena bercanda kalik bilang kayak gitu”
  “Kok lo jadi mbelain Zena sih.” Keluh Vera.
  “Ya habisnya Kak Vera gak bisa bedain mana yang bercanda, mana yang seriusan. Ya kalok emang serius ya siapa tau kakak sama Ra..”
  Vera segera membungkam mulut Rey yang akan menyebutkan nama asli inisial yang sedang mereka bicarakan, “if-you-know-what-i-mean, Reeeeeyyy” Vera mendesis sambil melebarka matanya menatap Rey.
  Rey terpingkal dalam bungkaman Vera. Ia berusaha melepaskan tangan Vera dari mulutnya tapi Vera membungkam mulutnya sangat rapat. Rey pun mengeluarkan jurus pembalasan yaitu menggelitiki tengkuk Vera dan alhasil membuat Vera memekik. Kakak beradik  itu saling membalas, melupakan setiap beban yang sedang di rasakan. Lebih tepatnya beban Vera.
--
  “Bu, kopi tiramisu satu” Ucap dua anak secara bersamaan kepada ibu penjual kantin.
Mereka saling menoleh ke arah datangnya suara, “Tapi tiramisunya tinggal satu.” Ucap bu kantin sambil memperlihatkan satu sachet kopi instan.
  “Buat lo aja” Ucap anak laki-laki yang memesan kopi tiramisu tadi.
  “Kamu aja” Ucap anak perempuan yang juga memesan kopi tiramisu.
  “Aku bisa ganti yang lain.” Ucap anak laki-laki itu, “Bu, aku moccacino aja.” Pesan anak laki-laki itu pada ibu kantin.
  “Makasih” Ucap anak perempuan itu pelan  tapi tetap terdengar oleh anak laki-laki disampingnya. Anak laki-laki itu hanya tersenyum.
  “Bu, aku duduk disebelah sana ya. Tolong nanti di anter” Pinta anak perempuan itu sambil menunjuk meja di tengah kantin yang kosong.
  Suasana kantin sangat ramai. Vera yang baru saja memesan es kopi kesukaaanya duduk sendirian di meja kantin yang kosong. Gloria teman sekelasnya harus izin tidak masuk karena menghadiri pernikahan sepupunya. Kantin SMP Mahakarya di desain seperti foodcourt mall-mall besar. Prosedurnya juga sama. Pesan, duduk dan makanan atau minuman yang dipesan akan datang.
  “Ver..”
Vera menoleh saat seseorang memanggil namanya, “Eh?”
  “Boleh duduk sini kan?” Anak laki-laki yang tadi memesan bersama Vera menunjuk kursi dihadapan Vera dengan dagunya.
  Vera mengangguk, “Itu minum siapa aja?” Tanya Vera melihat anak itu membawa dua gelas minuman.
  “Ini tempatku sama tempatmu. Tiramisu untuk kamu, Moccacino untuk aku” Anak itu menaruh satu cup kopi di hadapan Vera lalu manarik kursi dan duduk dihadapan Vera.
  “Makasih ya.”
  “Okeey..”
Vera mengamati anak dihadapannya ini. Teman sekelasnya sekaligus teman sebangkunya ini menarik bagi Vera. Walaupun memang anak itu menyebalkan di awal tapi mungkin itu karena dia belum merasa nyaman pada sekolah barunya.
  “Radit..” Panggil Vera.
  “Ya?”
Vera bingung topik apa yang sebaiknya dia bahas untuk membuka pembicaraan, “Udah betah sekolah di sini?” Tanya Vera pada akhirnya.
  Radit. Teman sebangku Vera yang sempat membuat Vera tak ingin mengenalnya karena sikap Radit yang begitu ketus.
 Radit mengudak-udak minumannya, “Lumayan..”
  “Lumayan?”
  “Iya. Aku udah ngerasa nyaman aja sama temen-temen. Tapi belom begitu betah..” Ucapan Radit terpotong saat dia menyeruput minumannya. “Belum bisa kumpul bareng sama anak-anak terlalu lama.” Lanjutnya.
  “Tapi menurut aku, kamu bukan tipe orang  pemalu” Vera mengomentari Radit.
Radit terkekeh, “Iya, aku memang gak pemalu. Cuma susah aja nyesuaiin diri sama sesuatu yang baru apalagi gak aku suka”
  “Jadi kamu tetep gak suka sekolah di sini?”
  “He? Bukan gitu maksudnya” Tukas Radit, “Lagipula kapan aku pernah bilang kalok aku gak suka sekolah di sini?”
  “Ya cara kamu membandingkan sekolah lama mu sama sekolah ini beberapa minggu lalu.” Ucap Vera.
Radit mengernyitkan kening, mengingat-ingat apa pernah ia membandingkan seperti ucapan Vera, “Oh..ya ampun. Kamu masih inget kejadian di UKS itu? Ya waktu itu aku bener-bener belum bisa terima kalok aku harus ninggalin temen-temenku di sekolah lama. Walaupun baru kenal setahun tapi ya kami semuakan rata-rata hampir dari SD yang sama” Jelas Radit.
  “Tapikan kamu pasti tetap harus bersosialisasi di sini, Dit. Jangan terus kamu gak mau berteman sama kita-kita atau menutup diri sama kita. Nanti kamu juga bakal ngehabisin waktu dua tahun bareng kita.” Vera mulai menceramahi sikap Radit yang tertutup.
  “Dua tahun? Aku gak yakin.”
  “Kenapa?” Vera tampak bingung dengan jawaban Radit.
  “Ayahku sering sekali pindah-pindah tempat kerja. Setiap ayah pindah kerja, otomatis keluargaku juga pindah.”
Vera membulatkan mulutnya sambil mengangguk-anggukan kepalanya, “Tapi waktu pindah ke sini, aku bilang ke ayahku kalok aku ingin lulus SMP disini dulu baru ayah boleh pindah-pindah kerja lagi.” Ucap Radit, “Jadi nomaden tu gak enak, Ver” Tambahnya.
  “Iya, aku ngerti kok. Yaudah, aku balik ke kelas dulu ya, Dit. Kamu mau ikut apa masih mau di sini?” Tanya Vera.
  “Aku ikut ajadeh. Yuk!” Ajak Radit lalu berjalan disamping Vera.

Beberapa pasang mata melihat kedekatan Radit dan Vera. Beberapa anak perempuan berbisik dan melihat sinis ke arah Vera. Penggosip. Namun Vera cukup senang sudah mulai akrab dengan Radit teman sebangkunya. Setidaknya di kelas nanti dan seterusnya dia tidak akan bosan saat pelajaran karena bisa di selingi mengobrol dengan Radit. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sewindu Bersama Bayang Semu

kan pernah aku bilang, jangan menunggu terlalu lama kan pernah aku bilang, jangan menjaga kepastian yang hampa kan pernah aku bilang, jang...