Minggu, 05 Oktober 2014

For You(1)



Sekali saja Tuhan beri waktu aku untuk menjagamu, aku akan menjagamu seterusnya. Sebagai apapun itu dan sejauh apapun itu. Karena bagiku tak boleh ada air mata jatuh dari mata beriris cokelat indah milikmu itu. Kesedihan ku pastikan tak akan pernah hinggap lagi dalam hidupmu.
Namaku Dika, seorang cowok biasa saja bagiku. Entah bagi orang lain dan Rena. Siapa Rena? Rena adalah temanku dari kecil. Mungkin tidak hanya teman, Rena adalah sahabat bahkan sudah kuanggap adik kandungku walaupun kami setara. Rena selalu menjadi sosok yang paling bisa membuatku tersenyum ikhlas dari dalam hatiku.
  “Tapi ini susah banget, Dika..“ Rena menggerutu tepat di depan mukaku.
Aku memegang kedua pundaknya, “Ka-mu-bi-sa” Ucapku menatap mata itu. Mata indah yang entah sejak kapan menjadi sangat indah.
  “Ini matematika, Dik. Ini kesempatan terakhirku, kamu beneran enggak mau bantuin aku?” Rena menggelembungkan pipinya dan membuat bibirnya mengerucut.
Aku menggeleng, “Kita udah belajar semalem dan menurutku kamu udah cukup bisa”
Hari ini Rena mengikuti remidial ulangan harian matematika karena nilainya yang belum memenuhi ketuntasan nilai. Semalam aku mengajari Rena dan menurutku kali ini Rena akan bisa mengerjakan soal-soal remidial.
  “Tapi bantuin aku ya? BBM-mu aktifkan? Ayolah Dika yang baik hati..” Rena masih merengek minta bantuan pengerjaan soal alias mencontek.
Aku berdecak, “Aku contekin kamu, tapi aku nggak akan pernah mau ngajarin kamu lagi. Pelajaran apapun itu. Deal?” Tantangku.
Rena menggeleng cepat, “Gak! Gak mau! Ayolah Dika sekali ini ajalah, besok-besok gak bakal kayak gini” Rena memohon dengan merapatkan kedua telapak tangannya.
  “Kamu bisa”
  “Kalau enggak?”
  “Bisa.”
  “Ren, Bu Prasti otw kelas.” Teriak Bagas salah satu teman kelasku yang juga remidi.
  “Tuh, buruan masuk. Semangat yaa..” Ucapku menyemangati Rena namun tetap disambut muka cemberutnya.
  “Nyebelin” Ucapnya sebelum meninggalkanku.
Aku tersenyum geli melihat tingkahnya yang terkadang seperti anak kecil itu. Rena memang terlihat seperti anak kecil yang harus dituruti jika dia menginginkan sesuatu. Tapi untuk urusan belajar seperti ini, aku minta Rena untuk mandiri.
Aku menunggu Rena di depan kelasku sambil mengamati beberapa anak futsal yang sedang berlatih untuk pertandingan antar SMA. Aku mengamati salah satu pemain. Angga, salah satu siswa populer di SMA Bakti. Dia kapten futsal, pernah menjabat menjadi ketua osis dan anak dari Pak Airlangga salah satu komite SMA Bakti. Tapi sayang, semua kepopulerannya yang membuat beberapa siswa laki-laki iri tak berlaku pada diriku. Angga adalah cowok brengsek bagiku.
  “Istirahat!” Teriak Angga dari pinggir lapangan pada timnya.
Angga mengambil handuk kecil dan mengelap keringatnya lalu meminum air mineral. Tiba-tiba matanya tertuju padaku. Aku menatapnya sebentar lalu membuang muka. Aku lihat dari ekor mataku dia sedang menuju ke arahku.
  “Sial! Mau apalagi dia” Batinku
  “Hei, bro. Sendiri aja, mana cewek lo?” Sapanya setelah berdiri di hadapanku.
  “Aku mendongakkan kepala sambil memincingkan satu alis, “Cewek?”
  “Ups..bukan cewek lo ya? Yah.. habis kalian kayak orang pacaran, sih” Ucapnya lalu duduk di sampingku.
  “Mau lo apa?” Tanyaku tanpa menoleh ke arahnya.
  “Santai, santai aja, Dik. Gue enggak akan ganggu temen lo itu kok” Jawabnya dengan penekanan di kata ‘temen’.
Aku tau Angga sedang membicarakan Rena. Ini alasan kenapa aku menyebutnya cowok brengsek. Dia adalah cowok yang membuat Rena jatuh cinta lengkap dengan merasakan sakit hati.
  “Gue cuma heran, kok lo bisa betah ya sama Rena. Manja, ceroboh, bener-bener nggak bisa di andelin dan..”
  “Murahan?” Ucapku dengan menatap Angga tajam.
  “Oh, lo udah sadar kalok temen lo itu murahan?”
  “Jaga bicara lo. Rena bukan cewek murahan!” Aku mendorong pundak Angga keras.
Angga tersenyum datar, “Terus apa namanya kalok berani nyium pipi gue di depan orang tua gue? Hebat ya dia, hebat gak tau malunya. Lo udah pernah di cium juga? Pasti sering ya? Gue yang baru kenal jadian aja udah di sosor apalagi lo yang udah kenal dari kecil..”
Aku menarik baju Angga, “Lo diem. Sekali lo ngomong tentang Rena, gue gak akan segan-segan mukul lo.”
  “Angga!” Angga menarik diri dariku saat pelatih memanggilnya.
Angga berdiri lalu menoleh kearahku, “Suatu saat lo bakal sadar, enggak ada gunanya lo peduli sama Rena” Ucap Angga lalu berlri ke lapangan.
Lagi-lagi insiden itu yang Angga bicarakan. Angga adalah anak pindahan saat naik kelas dua, ia begitu mudah masuk ke SMA Bakti karena ayahnya seorang komite. Pesonanya saat menjadi siswa baru sampai membuat semua siswi berebutan untuk mencari perhatiannya, termasuk Rena. Awalnya aku setuju saja karena melihat Rena yang tampak senang saat harus satu kelompok dengan Angga. Sampai pada akhirnya Rena benar-benar menjadi pacar Angga, semua berubah. Angga yang tetap sibuk dengan jabatan ketua osisnya malah melimpahkan semua PR-nya pada Rena. Singkat cerita, semua hubungan itu hanya sebuah status.
***
  Ulang tahun Angga ke-17 di adakan di rumahnya yang cukup luas. Temanya adalah garden party. Hampir satu angkatan di minta hadir ke rumahnya. Kebetulan Pak Airlangga sedang ada acara di luar kota dan kami semua merasa pesta ini benar-benar bebas.
  “Test..Test..satu..dua..” Semua orang menoleh ke arah panggung kecil. Ada Angga disana dengan jas berwarna putih dengan kemeja hitam.
  “Makasih buat kalian semua yang udah mau dateng ke pesta gue. Special thanks buat pacar gue Rena. Rena maju sini dong temenin aku” Ucap Angga yang langsung disambut siulan anak-anak cowok.
Aku melihat Rena berjalan ke arah panggung dengan gaun selutut berwarna putih yang tampak serasi dengan pakaian Angga. Cantik. Aku baru tersadar kenapa setiap jalan bersama Rena banyak anak cowok yang melihatku, ternyata alasannya adalah aku berjalan dengan Rena.
 “Nah, Rena.. Kamu kan belum kasih aku kado. Aku boleh dong minta kado sekarang?”
Rena tampak malu-malu, “Kado apa?”
  “Cium!” Celetuk salah satu anak di belakangku.
  “Iya. Cium..cium!” Anak-anak mulai riuh meneriakkan kata itu.
Aku tercengang, terlebih aku melihat Rena yang juga ikut kaget dengan permintaan teman-teman tapi beberapa detik kemudian pipinya merona malu.
  “Rena, Jangan!” Aku berteriak di dalam hati. Entah kenapa, aku tak mau melihat hal itu.
Namun sayang, Rena mendekatkan bibirnya ke pipi Angga, suara semakin riuh. Jantungku semakin terpacu melihat apa yang ada di hadapanku.
  “Berhenti!” Teriak seseorang lantang.
Pak Airlangga. Ayah Angga menuju panggung dan suasana yang tadinya riuh berubah menjadi hening. Semua mata tertuju pada Pak Airlangga. 
  “Angga..kamu apa-apaan? Ayah baru tinggal beberapa jam kamu sudah seperti ini!” Pak Airlangga membentak Angga dihadapan umum.
Rena kaku disamping Angga, “Bukan Angga yang minta, Yah. Dia yang mau cium Angga.”
Rena tercengang mendengar ucapan Angga. Akupun juga dan pastinya teman-teman juga. Rena sama sekali tidak mau memberi kado seperti itu.
  “Kamu? Kamu sapa?” Tanya Pak Airlangga pada Rena dengan nada keras.
  “Sa..saya Rena, Om. Saya..”
  “Dia temen kelas Angga, Yah” Potong Angga.
  “Mulai besok kamu pindah kelas, biar ayah yang urus. Dan buat kamu..” Pak Airlangga menunjuk ke arah Rena, “Malam ini terakhir kamu bisa dekat dengan anak saya.” Lanjut Pak Airlangga.
  “Selesaikan acara ini, lalu temui ayah di kamar.” Ucap Pak Airlangga dan meninggalkan kami semua.
  “Aku benci sama kamu, Ngga!” Rena pergi dari rumah Angga.
Aku tak langsung menyusulnya, aku mau lihat apa yang akan dilakukan Angga. Benar saja, Angga memang licik. Dia tetap ingin eksis di angkatan.
  “Maaf teman-teman jadi begini pestanya. Tapi aku gak salahkan? Akukan juga gak minta Rena buat lakuin itu kan? Berarti Rena yang..maaf ya, murahan ya? Yaudah makasih buat yang tadi teriak minta Rena cium gue, gue sekarang tau Rena gak pantes buat gue.” Ucapnya dan membuat iba para cewek-cewek. Licik.
  Aku keluar dari rumah Angga setelah acara berlanjut. Tujuanku adalah rumah Rena. Aku yakin Rena sedang hancur sehancur-hancurnya. Aku pencet bel rumahnya. Seorng perempuan cantik mirip dengan Rena membukakan pintu.
  “Lhoh, Dika?”
Aku tersenyum, “Malam tante. Rena udah pulang?”
  Tante Rani, ibunda Rena mengangguk, “Udah. Emang tadi Rena enggak pulang sama kamu?”
Aku menggeleng, “Enggak tante. Tadi Dika bantuin Angga ngelepas properti pesta dulu” Ucapku berbohong.
  “Yaudah, mau di luar apa di dalem ngobrolnya?”Tanya tante Rani.
  “Diluar aja, Tan”
  “Yaudah tante panggilin Rena dulu ya..”
  “Nggak usah, Bun. Rena di sini kok” Ucap Rena yang sudah berada di belakang tante Rani.
Tante Rani menengok, “Yaudah, bunda tinggal kedalem ya”
  “Ya Tante”
Aku duduk di teras Rena menghadap ke jalan. Rena duduk disampingku. Aku lihat matanya berkaca-kaca. Aku tau dia pasti sudah menangis sebelum aku datang.
  “Kenapa baru ke sini sekarang?” Tanya Rena.
Aku menoleh, “Soalnya aku tau, Angga enggak mungkin jatuhin harga dirinya dihadapan temen-temen”
  “Dia bilang apa pas aku udah pulang?” Tanya Rena.
  “Sesuatu hal yang enggak pengen kamu denger” Ucapku. Aku tak tega mengucapkan kalimat-kalimat Angga tadi.
  “Kenapa dia jahat banget sama aku ya, Dik? Aku salah apa sama dia, aku malu banget. Aku pasti udah di cap..” Air mata Rena jatuh dan membasahi pipinya.
  “Awalnya pasti enggak kayak gini Ren. Tapi aku juga heran kenapa kamu mau ngelakuin itu tadi” Ucapku menghakimi Rena.
  “Aku sayang banget sama Angga, Dik. Setelah jadi pacarnya Angga, semua orang kenal aku. Semua cewek-cewek iri ngeliat aku yang bisa jalan bareng sama Angga kemana-mana” Ucap Rena sambil terisak.
Aku menarik kepala Rena dan menaruhnya di pundakku, “Mulai sekarang, kamu harus hapus perasaanmu sama Angga. Angga bukan cowok baik kayak yang selama ini kamu pikirin. Aku juga sempet percaya sama Angga yang kayaknya bisa jagain kamu, Ren. Tapi ternyata Angga itu licik” Ucapku.
  “Maafin aku ya, Dik.”
  “Buat apa?” Tanyaku.
 “Kalok selama aku jadi pacarnya Angga kamu jadi sering aku tinggalin. Ternyata kamu lebih baik daripada Angga. Jauh lebih baik. Kamu bener-bener sahabatku yang paling baik.”
Aku tersenyum sambil mengelus rambut Rena, “Iya, Ren. Aku bakal jagain kamu mulai sekarang. Pokoknya kamu nggak boleh deket sama Angga lagi atau rang-orang macem Angga.”
Rena bangun dari pundakku, “Janji ya bakal adi sahabatku terus?” Ucap Rena sambil mengacungkan jari kelingkingnya.
Aku mengaitkan jari kelingkingku, “Janji.”
***
  “Dika” Panggil seseorang membuat lamunanku buyar.
Aku mendongak, mendapati Rena sudah ada di depanku, “Udah?” Tanyaku dan hanya disambut dengan anggukan.
  “Bisakan?”
  “Aku mau pulang” Ucap Rena tanpa menjawab pertanyaanku dan berjalan meninggalkanku.
Aku berdiri, berjalan cepat menyusulnya dan meraih tangannya, “Kenapa?Susah?” Tanyaku.
Rena masih diam tanpa menjawab pertanyaanku. Wajahnya di tekuk dan dia menggeleng.
  “Maaf ya?” Ucapku.
Rena menggeleng, “Buat apa minta maaf?”
 “Harusnya aku emang batuin kamu tadi. Paling nggak di nomer yang bener-bener kamu nggak bisa” Jelasku merasa bersalah. Tapi bukannya jika aku membantu aku juga salah?
  “Iya, kamu harusnya buka hape.” Ucap Rena lirih.
  “Iya.”
  “Yaudah, buka hapemu sekarang”
Aku bingung tapi tetap merogoh saku celanaku untuk mengambil ponselku, ada notification BBM.
  Rena Adelia : AKU TUNTAS NILAIKU 8!
Aku membaca isi BBM lalu mendongak ke arah Rena. Kini wajah Rena ditutupi selembar kertas ujian bertuliskan jawaban dengan nilai 8 berwarna biru. Setelah itu Rena tertawa terbahak-bahak. Aku masih memasang wajah bodoh. Kenapa aku selalu bisa di bodohin sama cewek macam Rena gini.
  “Dasar..” Umpatku lalu berjalan meninggalkan Rena.
  “Haha..kamu lucu banget kalok lagi bersalah kayak gitu” Rena berteriak sambil terus tertawa.
  “Bodo amat!” Balasku.
  “Ciee..ngambek!” Ucap Rena sambil lari menyusulku.
Itu Rena. Seseorang yang ceria meski ia dalam keadaan susah. Dan ini aku, Dika. Orang yang akan berusaha ada untuk Rena.

Sabtu, 04 Oktober 2014

Meet Up with Tujuh Ayam



Yam..ayam ayam yang ayam ngayam!
  Oke, gue punya 6 temen dari jaman gue SMP. Septi, Tamara, Sarah, Dila, Iin dan Sari. Kita semua sekarang udah pada kuliah. Dan semua mencar kecuali gue sama Dila yang masih satu universitas. Walaupun se-Univ gue sama Dila baru ketemu sekali. Waktu itu hari Jumat, Dila main ke perpus umum yang kebetulan deket sama kampus gue.
Karena kita pada misah-misah dan baru bisa ketemu lagi waktu ultahnya si bungsu (Sari) walaupun enggak ada tertua (Septi), Kita akhirnya mutusin untuk ngadain Meet Up dan jatuhlah pada hari Jumat 3 Oktober  2014. Kenapa? Ya soalnya bisanya tanggal segitu.
Jumat, 3 Oktober 2014 . . .
  Hari ini univ gue libur lebaran, berbahagialah anak-anak rantau yang bisa pulang lebih awal. Gue? Ya gini, dirumah aja, tiduran hibernasi, terus makan sampek akhirnya jam 10 pagi gue mandi soalnya inget kalok harus nganter nyonya besar ke Bumiputera.
STNK! Mampus, STNK ilang!
Pas banget mau pergi, gue ngerogoh saku celana depan gue, lalu merogoh ke saku belakang, kedepan lagi.
  “Buk..STNKku gak ada! STNKku mana?!”
Gue nyari-nyari dari atas TV trus ke tempat setrika trus ke tas-tas trus jok motor. Tapi hasilnya nihil.
  “Makanya udah dibilangin berkali-kali STNK di taruh dompet enggak ditaruh di saku....”
  “Oke, motornya ibu aja”
Akhirnya gue nganter nyonya besar pakek motornya nyonya besar yang gak bisa di ajak ngebut. Karena gue mikirin STNK motor yang entah lagi dimana sama siapa, gue jadi gak konsen selama perjalanan. Tapi, Alhamdulillah nyampek Bumiputera dengan bensin mepet. Iya, jarum udah di E yang artinya Entek, eh bukan, Empty mksudnya. Keluar dari Bumiputera baru beli bensin dan beli makan. Tujuannya adalah Ayam bakar Mbok Sabar. Asli ini ayam enak banget. Kalok kata orang sih recomended.
Pulang dari Mbok Sabar masih jam 4-an, dan lagi-lagi nyonya besar ngajak keluar buat keperluan sahur. Tapi di undur-undur sampek akhirnya habis maghrib baru keluar beli bahan masakan. Sebelumnya gue udah bilang ke anaka-anak kalok gue bakal nyampek di rumah Septi jam setengah 7-an. Tapi akhirnya gue baru berangkat jam 7, setelah Sari nge-WA kalok udah di ruMAH Septi.
Udah ada Tamara, Dila sama Sari. Malem ini Dila pakek kerudung, kalau gak salah habis pergi sama temen kampusnya.
  Septi keluar sambil bawa minuman, “Hei Nurul..” Gue saliman sama Septi. Ah, saliman sama calon perawat begini rasanya. Haha
  Enggak lama kemudian si Sarah dateng. Dia baru aja menuntaskan buka puasanya sama Tinsky kalau gak salah. Sarah melihat sesuatu yang new dari Tamara. Hape, iya hapenya tamara baru. Dan hebatnya sarah punya fish eye baru. Cocok. Sarah langsung nge-reyen camera nya Tamara pakek fish eye nya. Jepret sana-jepret sini tapi nggak ngajak temen-temennya.
Jam udah nunjukin jam 8 tapi kita belum lengkap. Kurang siapa? IIN! Ini anak baru aja punya pacar namanya Bimo. Orangnya gendut menurut gue sama Sarah. Kalok menurut gue sama Sari adalah..Kayakya pernah liat. Tapi gue sama Sari yang se-SD juga nggak ngerasa punya temen namanya Bimo. Akhirnya kita nelpon Iin dan sempet sempetnya Iin nyapa kita dengan “Halo Sayang” Anjiir berasa jomblo banget.
  Iin dateng langsung ngammbil duduk diantara gue sama Sarah langsung nyosor roti bakar sama minum. Ini temen sapa ini??? Akhirnya kita mulai rumpi-rumpi kayak biasanya. Ngomongin kuliah, cowok dan terakhir ngomongin..lebih tepatnya nagih ulang tahunnya Sari sama Septi. Iin juga gak luput dari sasaran makan-makan karena jadian. Berbahagialah kalian yang jomblo karena gak akan ada duit yang terkuras buat nraktir temen-temen.
 Yang utama dari meet up adalah kenangan. Iya, tak ada tongsis, tangsis pun beraksi. Apa itu tangsis? Tangan narsis. Kita foto di setiap sudut rumah septi. Dari teras, ruang tamu sampek kamarnya septi.
Hebatnya acara meet up setelah masuk kuliah ini baru berakhir jam setengah 11. Kita akhitnya pulang tanpa pamit ortunya Septi karena udah pada tidur.
Yang terakhir adalah.. Makasih Septi yang udah sediain kita tempat buat meet up. Jangan bosen-bosen sama kedatengan kita karena rumahmu itu cukup strategis buat kumpul. Haha.




Sewindu Bersama Bayang Semu

kan pernah aku bilang, jangan menunggu terlalu lama kan pernah aku bilang, jangan menjaga kepastian yang hampa kan pernah aku bilang, jang...