Sekali saja Tuhan beri waktu aku
untuk menjagamu, aku akan menjagamu seterusnya. Sebagai apapun itu dan sejauh
apapun itu. Karena bagiku tak boleh ada air mata jatuh dari mata beriris
cokelat indah milikmu itu. Kesedihan ku pastikan tak akan pernah hinggap lagi
dalam hidupmu.
Namaku Dika, seorang cowok biasa
saja bagiku. Entah bagi orang lain dan Rena. Siapa Rena? Rena adalah temanku
dari kecil. Mungkin tidak hanya teman, Rena adalah sahabat bahkan sudah
kuanggap adik kandungku walaupun kami setara. Rena selalu menjadi sosok yang
paling bisa membuatku tersenyum ikhlas dari dalam hatiku.
“Tapi ini susah banget, Dika..“ Rena menggerutu tepat di depan mukaku.
Aku memegang kedua pundaknya,
“Ka-mu-bi-sa” Ucapku menatap mata itu. Mata indah yang entah sejak kapan
menjadi sangat indah.
“Ini matematika, Dik. Ini kesempatan terakhirku, kamu beneran enggak mau
bantuin aku?” Rena menggelembungkan pipinya dan membuat bibirnya mengerucut.
Aku menggeleng, “Kita udah
belajar semalem dan menurutku kamu udah cukup bisa”
Hari ini Rena mengikuti remidial
ulangan harian matematika karena nilainya yang belum memenuhi ketuntasan nilai.
Semalam aku mengajari Rena dan menurutku kali ini Rena akan bisa mengerjakan
soal-soal remidial.
“Tapi bantuin aku ya? BBM-mu aktifkan? Ayolah Dika yang baik hati..”
Rena masih merengek minta bantuan pengerjaan soal alias mencontek.
Aku berdecak, “Aku contekin kamu,
tapi aku nggak akan pernah mau ngajarin kamu lagi. Pelajaran apapun itu. Deal?”
Tantangku.
Rena menggeleng cepat, “Gak! Gak
mau! Ayolah Dika sekali ini ajalah, besok-besok gak bakal kayak gini” Rena
memohon dengan merapatkan kedua telapak tangannya.
“Kamu bisa”
“Kalau enggak?”
“Bisa.”
“Ren, Bu Prasti otw kelas.” Teriak Bagas salah satu teman kelasku yang
juga remidi.
“Tuh,
buruan masuk. Semangat yaa..” Ucapku menyemangati Rena namun tetap disambut muka
cemberutnya.
“Nyebelin” Ucapnya sebelum meninggalkanku.
Aku tersenyum geli melihat
tingkahnya yang terkadang seperti anak kecil itu. Rena memang terlihat seperti
anak kecil yang harus dituruti jika dia menginginkan sesuatu. Tapi untuk urusan
belajar seperti ini, aku minta Rena untuk mandiri.
Aku menunggu Rena di depan
kelasku sambil mengamati beberapa anak futsal yang sedang berlatih untuk
pertandingan antar SMA. Aku mengamati salah satu pemain. Angga, salah satu
siswa populer di SMA Bakti. Dia kapten futsal, pernah menjabat menjadi ketua
osis dan anak dari Pak Airlangga salah satu komite SMA Bakti. Tapi sayang,
semua kepopulerannya yang membuat beberapa siswa laki-laki iri tak berlaku pada
diriku. Angga adalah cowok brengsek bagiku.
“Istirahat!” Teriak Angga dari pinggir lapangan pada timnya.
Angga mengambil handuk kecil dan
mengelap keringatnya lalu meminum air mineral. Tiba-tiba matanya tertuju
padaku. Aku menatapnya sebentar lalu membuang muka. Aku lihat dari ekor mataku
dia sedang menuju ke arahku.
“Sial! Mau apalagi dia” Batinku
“Hei, bro. Sendiri aja, mana cewek lo?” Sapanya setelah berdiri di
hadapanku.
“Aku mendongakkan kepala sambil memincingkan satu alis, “Cewek?”
“Ups..bukan cewek lo ya? Yah.. habis kalian kayak orang pacaran, sih”
Ucapnya lalu duduk di sampingku.
“Mau lo apa?” Tanyaku tanpa menoleh ke arahnya.
“Santai, santai aja, Dik. Gue enggak akan ganggu temen lo itu kok”
Jawabnya dengan penekanan di kata ‘temen’.
Aku tau Angga sedang membicarakan
Rena. Ini alasan kenapa aku menyebutnya cowok brengsek. Dia adalah cowok yang
membuat Rena jatuh cinta lengkap dengan merasakan sakit hati.
“Gue cuma heran, kok lo bisa betah ya sama Rena. Manja, ceroboh,
bener-bener nggak bisa di andelin dan..”
“Murahan?” Ucapku dengan menatap Angga tajam.
“Oh, lo udah sadar kalok temen lo itu murahan?”
“Jaga bicara lo. Rena bukan cewek murahan!” Aku mendorong pundak Angga
keras.
Angga tersenyum datar, “Terus apa
namanya kalok berani nyium pipi gue di depan orang tua gue? Hebat ya dia, hebat
gak tau malunya. Lo udah pernah di cium juga? Pasti sering ya? Gue yang baru
kenal jadian aja udah di sosor apalagi lo yang udah kenal dari kecil..”
Aku menarik baju Angga, “Lo diem.
Sekali lo ngomong tentang Rena, gue gak akan segan-segan mukul lo.”
“Angga!” Angga menarik diri dariku saat pelatih memanggilnya.
Angga berdiri lalu menoleh
kearahku, “Suatu saat lo bakal sadar, enggak ada gunanya lo peduli sama Rena”
Ucap Angga lalu berlri ke lapangan.
Lagi-lagi insiden itu yang Angga
bicarakan. Angga adalah anak pindahan saat naik kelas dua, ia begitu mudah
masuk ke SMA Bakti karena ayahnya seorang komite. Pesonanya saat menjadi siswa
baru sampai membuat semua siswi berebutan untuk mencari perhatiannya, termasuk
Rena. Awalnya aku setuju saja karena melihat Rena yang tampak senang saat harus
satu kelompok dengan Angga. Sampai pada akhirnya Rena benar-benar menjadi pacar
Angga, semua berubah. Angga yang tetap sibuk dengan jabatan ketua osisnya malah
melimpahkan semua PR-nya pada Rena. Singkat cerita, semua hubungan itu hanya
sebuah status.
***
Ulang tahun Angga ke-17 di adakan di rumahnya yang cukup luas. Temanya
adalah garden party. Hampir satu angkatan di minta hadir ke rumahnya. Kebetulan
Pak Airlangga sedang ada acara di luar kota dan kami semua merasa pesta ini
benar-benar bebas.
“Test..Test..satu..dua..” Semua orang menoleh ke arah panggung kecil.
Ada Angga disana dengan jas berwarna putih dengan kemeja hitam.
“Makasih buat kalian semua yang udah mau dateng ke pesta gue. Special
thanks buat pacar gue Rena. Rena maju sini dong temenin aku” Ucap Angga yang
langsung disambut siulan anak-anak cowok.
Aku melihat Rena berjalan ke arah
panggung dengan gaun selutut berwarna putih yang tampak serasi dengan pakaian
Angga. Cantik. Aku baru tersadar kenapa setiap jalan bersama Rena banyak anak
cowok yang melihatku, ternyata alasannya adalah aku berjalan dengan Rena.
“Nah, Rena.. Kamu kan belum kasih aku kado.
Aku boleh dong minta kado sekarang?”
Rena tampak malu-malu, “Kado
apa?”
“Cium!” Celetuk salah satu anak di belakangku.
“Iya. Cium..cium!” Anak-anak mulai riuh meneriakkan kata itu.
Aku tercengang, terlebih aku
melihat Rena yang juga ikut kaget dengan permintaan teman-teman tapi beberapa
detik kemudian pipinya merona malu.
“Rena, Jangan!” Aku berteriak di
dalam hati. Entah kenapa, aku tak mau melihat hal itu.
Namun sayang, Rena mendekatkan
bibirnya ke pipi Angga, suara semakin riuh. Jantungku semakin terpacu melihat
apa yang ada di hadapanku.
“Berhenti!” Teriak seseorang lantang.
Pak Airlangga. Ayah Angga menuju
panggung dan suasana yang tadinya riuh berubah menjadi hening. Semua mata
tertuju pada Pak Airlangga.
“Angga..kamu apa-apaan? Ayah baru tinggal beberapa jam kamu sudah
seperti ini!” Pak Airlangga membentak Angga dihadapan umum.
Rena kaku disamping Angga, “Bukan
Angga yang minta, Yah. Dia yang mau cium Angga.”
Rena tercengang mendengar ucapan
Angga. Akupun juga dan pastinya teman-teman juga. Rena sama sekali tidak mau
memberi kado seperti itu.
“Kamu? Kamu sapa?” Tanya Pak Airlangga pada Rena dengan nada keras.
“Sa..saya Rena, Om. Saya..”
“Dia temen kelas Angga, Yah” Potong Angga.
“Mulai besok kamu pindah kelas, biar ayah yang urus. Dan buat kamu..”
Pak Airlangga menunjuk ke arah Rena, “Malam ini terakhir kamu bisa dekat dengan
anak saya.” Lanjut Pak Airlangga.
“Selesaikan acara ini, lalu temui ayah di kamar.” Ucap Pak Airlangga dan
meninggalkan kami semua.
“Aku benci sama kamu, Ngga!” Rena pergi dari rumah Angga.
Aku tak langsung menyusulnya, aku
mau lihat apa yang akan dilakukan Angga. Benar saja, Angga memang licik. Dia
tetap ingin eksis di angkatan.
“Maaf teman-teman jadi begini pestanya. Tapi aku gak salahkan? Akukan
juga gak minta Rena buat lakuin itu kan? Berarti Rena yang..maaf ya, murahan
ya? Yaudah makasih buat yang tadi teriak minta Rena cium gue, gue sekarang tau
Rena gak pantes buat gue.” Ucapnya dan membuat iba para cewek-cewek. Licik.
Aku keluar dari rumah Angga setelah acara berlanjut. Tujuanku adalah
rumah Rena. Aku yakin Rena sedang hancur sehancur-hancurnya. Aku pencet bel
rumahnya. Seorng perempuan cantik mirip dengan Rena membukakan pintu.
“Lhoh, Dika?”
Aku tersenyum, “Malam tante. Rena
udah pulang?”
Tante Rani, ibunda Rena mengangguk, “Udah. Emang tadi Rena enggak pulang
sama kamu?”
Aku menggeleng, “Enggak tante.
Tadi Dika bantuin Angga ngelepas properti pesta dulu” Ucapku berbohong.
“Yaudah, mau di luar apa di dalem ngobrolnya?”Tanya tante Rani.
“Diluar aja, Tan”
“Yaudah tante panggilin Rena dulu ya..”
“Nggak usah, Bun. Rena di sini kok” Ucap Rena yang sudah berada di
belakang tante Rani.
Tante Rani menengok, “Yaudah,
bunda tinggal kedalem ya”
“Ya Tante”
Aku duduk di teras Rena menghadap
ke jalan. Rena duduk disampingku. Aku lihat matanya berkaca-kaca. Aku tau dia
pasti sudah menangis sebelum aku datang.
“Kenapa baru ke sini sekarang?” Tanya Rena.
Aku menoleh, “Soalnya aku tau,
Angga enggak mungkin jatuhin harga dirinya dihadapan temen-temen”
“Dia bilang apa pas aku udah pulang?” Tanya Rena.
“Sesuatu hal yang enggak pengen kamu denger” Ucapku. Aku tak tega
mengucapkan kalimat-kalimat Angga tadi.
“Kenapa dia jahat banget sama aku ya, Dik? Aku salah apa sama dia, aku
malu banget. Aku pasti udah di cap..” Air mata Rena jatuh dan membasahi
pipinya.
“Awalnya pasti enggak kayak gini Ren. Tapi aku juga heran kenapa kamu
mau ngelakuin itu tadi” Ucapku menghakimi Rena.
“Aku sayang banget sama Angga, Dik. Setelah jadi pacarnya Angga, semua
orang kenal aku. Semua cewek-cewek iri ngeliat aku yang bisa jalan bareng sama
Angga kemana-mana” Ucap Rena sambil terisak.
Aku menarik kepala Rena dan
menaruhnya di pundakku, “Mulai sekarang, kamu harus hapus perasaanmu sama
Angga. Angga bukan cowok baik kayak yang selama ini kamu pikirin. Aku juga
sempet percaya sama Angga yang kayaknya bisa jagain kamu, Ren. Tapi ternyata
Angga itu licik” Ucapku.
“Maafin aku ya, Dik.”
“Buat apa?” Tanyaku.
“Kalok selama aku jadi pacarnya Angga kamu
jadi sering aku tinggalin. Ternyata kamu lebih baik daripada Angga. Jauh lebih
baik. Kamu bener-bener sahabatku yang paling baik.”
Aku tersenyum sambil mengelus
rambut Rena, “Iya, Ren. Aku bakal jagain kamu mulai sekarang. Pokoknya kamu
nggak boleh deket sama Angga lagi atau rang-orang macem Angga.”
Rena bangun dari pundakku, “Janji
ya bakal adi sahabatku terus?” Ucap Rena sambil mengacungkan jari
kelingkingnya.
Aku mengaitkan jari kelingkingku,
“Janji.”
***
“Dika” Panggil seseorang membuat lamunanku buyar.
Aku mendongak, mendapati Rena
sudah ada di depanku, “Udah?” Tanyaku dan hanya disambut dengan anggukan.
“Bisakan?”
“Aku mau pulang” Ucap Rena tanpa menjawab pertanyaanku dan berjalan
meninggalkanku.
Aku berdiri, berjalan cepat
menyusulnya dan meraih tangannya, “Kenapa?Susah?” Tanyaku.
Rena masih diam tanpa menjawab
pertanyaanku. Wajahnya di tekuk dan dia menggeleng.
“Maaf ya?” Ucapku.
Rena menggeleng, “Buat apa minta maaf?”
“Harusnya aku emang batuin kamu tadi. Paling
nggak di nomer yang bener-bener kamu nggak bisa” Jelasku merasa bersalah. Tapi
bukannya jika aku membantu aku juga salah?
“Iya, kamu harusnya buka hape.” Ucap Rena lirih.
“Iya.”
“Yaudah, buka hapemu sekarang”
Aku bingung tapi tetap merogoh
saku celanaku untuk mengambil ponselku, ada notification BBM.
Rena Adelia : AKU TUNTAS NILAIKU 8!
Aku membaca isi BBM lalu
mendongak ke arah Rena. Kini wajah Rena ditutupi selembar kertas ujian
bertuliskan jawaban dengan nilai 8 berwarna biru. Setelah itu Rena tertawa
terbahak-bahak. Aku masih memasang wajah bodoh. Kenapa aku selalu bisa di
bodohin sama cewek macam Rena gini.
“Dasar..” Umpatku lalu berjalan meninggalkan Rena.
“Haha..kamu lucu banget kalok lagi bersalah kayak gitu” Rena berteriak
sambil terus tertawa.
“Bodo amat!” Balasku.
“Ciee..ngambek!” Ucap Rena sambil lari menyusulku.
Itu Rena. Seseorang yang ceria
meski ia dalam keadaan susah. Dan ini aku, Dika. Orang yang akan berusaha ada
untuk Rena.