Tittle:
Puzzle – Saat hati dirangkai
Author:
Nurul Fauziah / @ziziphong
Genre:
Fiksi
##
*Tak ada manusia yang mampu hidup sendiri
Tak ada manusia yang tak ingin disayangi
Tak ada manusia yang tak berharap
Dan aku adalah manusia yang mengharapkanmu*
Bel
sekolah yang berbunyi membuat Rey dan Vera lari dari parkiran sampai kelas
mereka masing-masing. Mereka berlari disepanjang koridor dengan tawa, lebih
tepatnya Vera menertawakan Rey yang sempat panik saat Vera memperkenalkan
dirinya sebagai pacar Rey dihadapan Sinta yang jelas-jelas sedang ditaksir dan
menaksir Rey.
“Sialan lo, Kak! Ntar kalok sampek Sinta
mikir macem-macem gimana?!” Rey menyalahkan sikap Vera sambil berlari kecil
dikoridor.
Vera
mengusap keningnya yang sedikit mengeluarkan keringat, “Alah, siapa sih di sini
yang belom tau kita kakak-adik. Udah ah, kita tu dah telat..”Ucap Vera.
Rey
berhenti berlari dan membuat Vera yang ikut berhenti juga, “Kenapa?” Tanya Vera
akhirnya.
“Gakpapa. Lo baik-baik ya, Kak dikelas. Gue
ke kelas duluan.” Ucap Rey lalu memisahkan diri dari Vera.
Vera
melihat punggung Rey yang akhirnya hilang pada persimpangan jalan, “Itu anak
kenapa, sih?” Vera menatap heran kepergian Rey.
Vera
menggelengkan kepala, lalu berjalan dan BUUG!
Vera
sedikit terpental kebelakang, keningnya baru saja menabrak sesuatu. Ia memegang
keningnya dan melihat apa yang ia tabrak. Matanya membulat, tubuhnya sedikit
gemetar. Canggung.
“Sori, Ver. Gak sengaja, gue gak liat..”
“Gakpapa. Gue ke kelas dulu”Vera memotong
orang yang ditabrak atau menabraknya.
Vera
pergi meninggalkan orang itu dan masuk kelasnya, “Mau kemana, sih?” Tanya Vera pada Zena teman
sebangkunya saat berpapasan dengan Zena di depan pintu kelas.
Zena
memasukkan bolpen ke sakunya, “Kemana aja boleh, kita cuma dapet tugas ngerjain
halaman lima-delapan.” Ucap Zena.
“Oke, tungguin. Gue taruh tas dulu.” Vera
menaruh tas nya dibangku dan mengeluarkan buku matematikanya.
“Kita ngerjain di lapangan aja ya, Ver.” Zena
menunjuk bangku dipinggir lapangan.
Vera
menerawang ke arah lapangan, “Bilang aja lo nungguin Ricky. Jadwal mereka
olahraga kan sekarang. Basi banget alesan lo”
Zena
cuma nyengir saat mendengar jawaban Vera yang artinya modusnya untuk melihat
Ricky –adek kelas incerannya- diketahui Vera, “Gakpapalah. Itung-itung bantu
temen pedekate” Zena mengangkat kedua alisnya sambil tersenyum centil.
“Hmm..yadeh” Vera menggumam dan berjalan di
depan Zena. Matanya menangkap sosok yang kini berada di tengah lapangan. Tanda
kelas yang dipakainya sama seperti yang dipakai Vera dan Zena.
“Jangan di situ deh, dimana aja. Tempat lo
bisa liat Ricky tapi jangan di bangku itu” Vera reflek membalikkan badan dan
membuat Zena nyaris menabraknya.
“Kenapa sih? Disitu kan adem juga, Ver” Zena
bicara sambil melihat arah mata Vera. Zena menghembuskan nafasnya, “Tenang ada
gue. Kalok keadaan gak ngenakin, lo boleh pergi deh. Please!” Zena mengatupkan tangannya memohon agar Vera tetap mau
duduk dibangku lapangan.
Vera
memutar bola matanya sambil menggigit bibirnya pelan, “Oke..” Ucapnya pelan.
“Yeey! Lo emang paling ngerti gue deh!” Zena
berjingkrak senang lalu menarik Vera ke seberang lapangan untuk duduk dibangku
yang dia tunjuk.
Vera
membuka bukunya, ia mulai melihat soal-soal yang diberi guru matematikanya.
Reva manggut-manggut sambil membolak balik catetannya mencoba memahami
bagaimana cara mengerjakan soal tersebut. Sedangkan Zena sedang menunggu
kehadiran Ricky karena teman-teman sekelas Ricky sudah akan memulai pemanasan.
“Zen, lo ngerjain nomer sebelas sampek dua
puluh ya. Gue satu sampek sepuluh”Ucap Vera.
Zena
melihat soal yang ia dapat, “Lo gila,Ver. Gue gak bisa. Lo ajadeh yang sebelas
sampek dua puluh” Zena memprotes pembagian pekerjaan. Walaupun aslinya tugas
itu bukan tugas kelompok. Tapi mereka biasa membagi tugas dan menyalin apa
tugas masing-masing selesai.
“Gue juga gak bisa. Kan lo ikut bimbel masak
lo belom diajarin ini sih. Gue gak ngerti sama sekali ini apaan” Vera tetap
bersikukuh untuk tak mengerjakan soal yang menjadi bagian Zena.
“Gue aja.Gue bisa soal itu” Ucap seseorang
yang tanpa sadar sudah berdiri dihadapan Vera dan Zena.
“Eng..” Vera baru saja akan menolak tapi Zena
sudah keburu menyetujuinya.
“Oke. Benerankan lo bisa?” Ucap Zena yang
membuat mata Vera melotot ke arahnya.
Zena
memberikan bukunya pada orang itu, “Bisakan?” Zena mengulangi pertanyaannya
lagi.
Orang
itu mengangguk dan duduk disamping Zena. Vera baru saja ingin menutup bukunya
dan pergi dari tempat itu, namun Zena mengambil bukunya dan membuatnya tetap stay ditempat itu.
“Lo sama Vera kerjain satu sampek sepuluh
aja. Biar yang lain gue yang ngerjain.” Ucap orang itu sambil tersenyum ke arah
Zena dan Vera.
“Okesip” Zena mengacungkan jempol.
Vera
risih berada pada posisi seperti ini. Dia harus duduk bersama seseorang yang
tidak ia harapkan, seseorang yang juga ada di depan pintu masuk sekolahnya tadi
pagi.
“Ver, nomer enam gue gak bisa. Lo bisa gak?”
Tanya Zena.
Vera
menggeleng. Menurutnya tugas ini tak pantas di hibah kan pada anak kelasnya yang notabennya pemalas. Lagipula bab
ini baru dibahas satu kali, “Gak ngerti gue”
“Yang mana?” Tanya orang yang tadi mengajukan
diri untuk membantu Vera dan Zena.
Zena
menoleh sambil menunjuk nomer yang ia maksud, “Ini nih. Gue sama Vera gak
bisa.” Ucapnya.
“Oh ini harus digambar dulu kurvanya buat
nentuin titik x sama y” Jelas orang itu sambil menerangkan diselembar kertas
buram yang sudah banyak coret-coretan pekerjaannya.
“Lo pinter amat sih, Dit” Zena memuji orang
itu yang tak lain adalah Radit. Teman sekelas dan mantan dari Vera.
Radit
hanya tersenyum sebentar lalu fokus kembali pada pekerjaannya. Vera yang sudah
tau bagaimana Radit hanya tersenyum remeh. Dia tau radit pintar dalam bidang
matematika. Itu terbukti dari hasil ujian kelulusan SMP, Radit mendapat nilai
sepuluh dalam mata pelajaran matematika.
“Udah nih. Udah sampek dua puluh, kalian
cocokin sama kerjaan kalian aja. Ntar kalok ada yang beda bilang ya. Aku ke
kantin bentar” Radit menyerahkan bukunya pada Zena dan Vera lalu meninggalkan
mereka berdua.
Vera
menghembuskan nafas berat dan menelungkupkan kepalanya. Satu jam bersama Radit
membuat pikirannya melayang-layang kemana-mana. Apalagi saat Radit berada
disampingnya saat menjelaskan cara mengerjakan padanya dan Zena. Jantungnya
terasa berdesir pelan dan pipinya terasa hangat.
“Kenapa sih?” Zena bertanya pada Vera sambil
asik menyalin jawaban Radit.
Vera
mendongakkan kepalanya dan menoleh ke arah Zena tanpa menjawab pertanyaan Zena.
Vera malah asik mengetuk-ngetukan jarinya pada meja yang mereka pakai.
“Kenapa?” Tanya Zena lagi.
Vera
menoleh, “Apanya yang kenapa?” Tanya Vera pada akhirnya.
Zena
merapikan buku-bukunya, “Kenapa lo putus sama Radit?”
Vera
tercengang mendengar pertanyaan itu. Memang bukan hal baru mendengar pertanyaan
itu muncul dari mulut Zena, tetapi tetap saja semakin sering Zena bicara
semakin Vera menutup diri untuk tak menceritakan alasannya.
“Takdir kalik” Jawab Vera asal.
Zena
tersenyum miring, “Radit tu perfect.
Lo nemuin kekurangan apa sih di dalem dirinya?” Tanya Zena lagi. Dia memang
ingin tahu apa alasannya. Bukan, bukan hanya sekedar ingin tahu tapi juga ingin
membantu. Membantu apabila Vera ingin mencoba move on dari Radit.
Vera mendesah kasar, “Lo gak tau dia
sebenernya, Zen” Ucapnya datar sambil menatap anak-anak kelas dua bermain
basket.
“Ya makanya lo cerita ke gue. Lo aja gak
pernah cerita gimana gue tau. Masak iya gue harus jadi mantan Radit dulu. Kan
gak mungkin.” Zena terus memojokkan Vera.
“Yaudah lo coba aja pacaran sama dia. Siapa
tau jodoh” Vera menjawab semakin asal.
“Hei,
serius amat ngobrolnya. Nih aku beliin minum” Radit datang sambil membawa dua
cup es teh dan satu cup minuman yang terlihat seperti kopi.
“Ini teh buat kamu, Zen. Yang ini kopi
tiramisu buat kamu, Ver” Ucap Radit sambil menaruh cup-cup minuman itu di
hadapan Zena dan Vera.
Zena
langsung berterimakasih dan menyeruput es teh nya. Sedangkan Vera hanya menatap
kosong cup kopi tiramisunya.
Tiramisu
untuk kamu, Moccacino untuk aku. Vera mengingat ucapan Radit yang dahulu.
“Gue gak suka kopi” Ucap Vera sambil
menyodorkan kopi pemberian Radit pada Radit.
Radit
mengernyitkan dahi, “Lhoh bukannya..”
“Enggak. Aku gak suka kopi.”
“Yaudah kamu teh aja nih. Belom aku minum kok”
Radit menyodorkan es teh yang ia pegangi.
“Aku gak mau. Kamu kasih ke yang lain aja” Sahut Vera cepat.
“Rick! Ricky!” Radit memanggil satu nama anak
yang tak asing ditelinga Vera apalagi Zena.
Ricky
–adik kelas incaran Zena- menoleh ke arah Radit. Radit memberi isyarat pada
Ricky untuk menghampirinya. Ricky berlari kecil menuju tempat Radit. Zena sudah
menyikut Vera berkali-kali karena panik.
“Duuuhh..ganteng banget Ver. Kok Radit kenal
sih” Zena berbisik pelan pada Vera.
“Buat
lo..” Radit memberi cup es teh miliknya pada Ricky.
Ricky
menerimanya dengan senang hati, “Buat gue? Thanks, Kak. Gue balik ke tempat
temen-temen ya.”
“Ganteng banget!” Pekik Zena yang membuat
Radir menoleh.
Zena
lalu membungkam mulutnya sendiri, “Kenapa? Naksir ya sama Ricky?” Goda Radit
sambil menaik turunkan alisnya.
“Eh..eh..” Zena jadi salah tingkah, “Jangan
bilang ya, Dit ke orangnya. Jaim lah masak kakak kelas naksir adik kelas. Tapi
kok lo bisa kenal sih? Siapa lo? Adik lo? Eh, gak mungkin lo kan anak tunggal.
Sepupu? Atau tetangga lo? Kenalin dong”
Namun
sama sekali tak di gubris Radit. Radit sedang menatap Vera yang juga
menatapnya. Mata mereka bertemu, saling membaca pikiran dari lawan yang ia
lihat. Mata Vera yang terlihat memancarkan kelembutan dan mata Radit yang
terlihat tegas. Ada yang mereka bicarakan dari tatapan mata itu. Entah apa dan
bagaimana menjelaskannya, merekapun tak mengerti.
“Ehem..” Zena mendehem. Membuat Radit dan
Vera tersadar dari kekaguman masing-masing.
“Napa lo, Dit ngeliat Vera serius amat.
Naksir? Apa pengen balikan?” Tanya Zena.
Radit
terkekeh, “Apaan sih lo, Zen. Ricky tu tetangga gue. Mau gue kenalin?” Radit
menggoda Zena kembali.
Zena
merangkul Vera, “Kalok ini temen gue. Gimana? Lo mau..”
Vera
melepaskan diri dari rangkulan Zena, “Gue mau balik ke kelas.” Zena merapikan buku-bukunya dan membawanya
pergi dari bangku itu. Bercandaan Zena membuatnya tak ingin lama-lama berada di
sana.
“Eh..Eh” Zena ikut merapikan buku-bukunya
saat Vera mulai beranjak dari tempat itu, “Tungguin dong, Ver.”
Vera
sama sekali tak mendengar permintaan tunggu dari Zena. Ia sudah dongkol abis di
pojokkan oleh Zena.
“Aduh, mana ini bolpenku..” Zena panik sambil
mencari-cari bolpen miliknya. Sedangkan Radit hanya terdiam di sampingnya.
“Zen..” Radit memanggil Zena pelan namun
tetap terdengar.
“Apa?”
“Gue boleh ngomong sama lo bentar gak? Bentar
aja.” Mohon Radit tegas.
Zena
memiringkan kepalanya, “Ngomong apa?”
“Vera.”
Vera tetap berjalan di koridor. Ia akhirnya
berhenti karena merasa Zena tak mengikutinya. Benar saja, Zena memang tak
mengikuti atau mengejarnya. Vera makin dongkol apalagi setelah melihat ke arah
bangku di lapangan yang ia pakai tadi.
Zenaaaaaa..lo
malah ngapain sih di sana. Vera membatin dengan geram melihat Zena yang tak
mengejarnya tetapi malah asik ngobrol dengan Radit.
Vera
melanjutkan langkahnya menuju kelas. Sesampainya di kelas ia merogoh isi
tasnya, mencari ponselnya. Ia mengetik pesan pada seseorang,
Dimana?
Istirahat ketemu di tempat biasa ya. Bete banget gue. Begitu isi pesannya,
ia mengetik nama pengirim dan mengirim pesan tersbut.
Satu
jam pelajaran sejarah makin terasa lama semenjak Zena berubah menjadi pendiam.
Vera sempat beberapa kali memngada-adakan topik untuk membuat Zena yang
sekarang diam menjadi hyperaktif seperti
biasanya, tapi usahanya gagal. Jadilah, Vera ikut-ikutan diam selama pelajaran
sejarah berlangsung.
Saat
bel tanda istirahat berbunyi dan Pak Romi sudah keluar dari kelas, Vera merogoh
kantongnya untuk mengambil ponsel.
Vera
mengetik nama yang tadi sempat ia kirimi pesan, “Halo? Udah disana?” Tanya Vera
setelah sambungan terhubung, “Oke, gue ke sana” Ucap Vera dan memutuskan
sambungan.
“Mau kemana?” Tanya Zena yang mendengar
percakapan Vera.
Vera
menoleh, akhirnya Zena bersuara juga, “Mau ketemu Rey. Mau ikut?” Vera memang
biasa mengajak Zena bertemu Rey.
Zena
menggeleng, “Yaudah aku duluan” Pamit Vera lalu meninggalkan kelas.
“Mau kemana?”
“Eh?” Zena kaget saat Radit sudah berdiri
disampingnya, “Ketemu Rey katanya.” Jawab Zena tanpa bertanya siapa yang di
maksud Radit.
Vera
melangkahkan kaki menuju taman belakang sekolahnya. Taman ini memang ramai saat
istirahat. Vera mencari-cari sosok Rey, biasanya mereka akan duduk di bawah
pohon ketapang, satu-satunya pohon ketapang yang ada di sekolah mereka.
Seseorang melambai-lambaikan tangan ke arah Vera, Vera melihat dan mengangkat
tangannya, memberi isyarat bahwa dia sudah melihat lambaian tangan itu.
“Haaah..” Vera mendesah kasar sambil
mendudukkan diri disamping Rey.
Rey
mengeluarkan beberapa makanan dari kantong plastik hitam yang ia bawa, isinya
minum dan beberapa snack yang ia beli di kantin sebelum datang ke taman. Vera
selalu senang bertemu Rey saat istirahat di tempat ini. Rey selalu membeli
beberapa snack dan mereka akan memakannya seakan-akan sedang piknik keluarga.
“Jadi, kali ini apa masalahnya?” Rey membuka
pembicaraan setelah menegak beberapa air.
Vera
bertopang dagu, “Zena.” Jawabnya singkat
“Zena?”
Vera
mengangguk, “Tadi gue ngerjain tugas bareng dia..” Vera menggigit biskuit yang
di beli Rey.
“Terus?” Rey bertanya sambil membuka bungkus
chiki yang ia beli.
“Sama if-you-know-what-i-mean
juga” Lanjut Vera dan sukses membuat kunyahan Rey terhenti.
“if-you-know-what-i-mean?
Kok bisa?”
Vera
menghembuskan nafas pelan, “Ya..”
“Tunggu deh, kak. Bisa gak sih kita bikin
inisial lebih singkat. If-you-know-what-i-mean
itu panjang banget” Rey protes pada
Vera yang memberi inisial nama orang yang sedang mereka bicarakan yang terlalu
panjang.
Vera
melengos, ada –ada ajasih Rey. Batinnya.
“Yaudah kamu mau kita pakek inisial apa?” Tanya Vera pada Rey akhirnya.
Rey
sedikit berpikir, “Gimana kalok if-you-know-what-i-mean-i-know-what-you-mean”
Ucap Rey dengan satu tarikan nafas.
“Sinting!”Vera mengumpat sambil menoyor
kepala Rey.
Rey
terkekeh, “Ya apakek gitu” Ucap Rey.
Vera
mendesis, “Issh.. Udahlah ajalah. Gak usah banyak protes lu.”
Rey
hanya bergumam, “Terus?” Tanyanya siap mendengarkan kelanjutan cerita Vera.
“Ya, soalnya Zena minta if-you-know-what-i-mean
ngerjain tugas yang aku sama Zena gak
bisa ngerjain”
“Jadi lo bete karena itu?”
“Ya enggak. Pas akhir-akhir si if-you-know-what-i-mean beliin gue sama
Zena minum..”
“Terus?” Rey memotong ucapan Vera yang
membuat Vera langsung membungkam mulut Rey.
“Diem dulu. Cerewet amat!” Vera melepaskan
bungkamannya.
“Ya makanya cerita gak usah pakek jeda
kelamaan. Istirahat kita cuma limabelas menit” Protes Rey.
“Yaudah, intinya tadi Zena nanyain gue kenapa
gue putus sama if-you-know-what-i-mean.
Dia juga ngenalin gue ke if-you-know-what-i-mean
seakan-akan gue sama dia baru ketemu dan nanya ke if-you-know-what-i-mean apa dia mau balikan sama gue.”
Rey
baru saja akan menanggapi tapi dia menutup mulut lagi saat tau Vera sudah siap
membungkam mulutnya lagi, “Terus akhirnya gue tinggalin dia di lapangan bareng if-you-know-what-i-mean. Bukannya ngejar
gue, mereka malah ngelanjutin ngobrol. Bete gak sih?” Vera menyudahi ceritanya
sambil menegak minuman Rey.
“Lo jealous,Kak”
“Uhuuk..uhuuk..” Vera tersedak mendengar
pernyataan Rey.
Rey
menepuk pelan punggung Vera, “Santai, kak..gak usah salting gitu.” Rey terkekeh
“Sialan lo! Bisa-bisanya bilang gue jealous”
Rey
makin terpingkal melihat ekspresi kakaknya itu, “Yaudah, gak jealous. Terus
sisi betenya dimana? Zena bercanda kalik bilang kayak gitu”
“Kok lo jadi mbelain Zena sih.” Keluh Vera.
“Ya habisnya Kak Vera gak bisa bedain mana
yang bercanda, mana yang seriusan. Ya kalok emang serius ya siapa tau kakak
sama Ra..”
Vera segera membungkam mulut Rey yang akan
menyebutkan nama asli inisial yang sedang mereka bicarakan, “if-you-know-what-i-mean, Reeeeeyyy” Vera
mendesis sambil melebarka matanya menatap Rey.
Rey terpingkal dalam bungkaman Vera. Ia
berusaha melepaskan tangan Vera dari mulutnya tapi Vera membungkam mulutnya
sangat rapat. Rey pun mengeluarkan jurus pembalasan yaitu menggelitiki tengkuk
Vera dan alhasil membuat Vera memekik. Kakak beradik itu saling membalas, melupakan setiap beban
yang sedang di rasakan. Lebih tepatnya beban Vera.
--
“Bu, kopi tiramisu satu” Ucap dua anak secara
bersamaan kepada ibu penjual kantin.
Mereka
saling menoleh ke arah datangnya suara, “Tapi tiramisunya tinggal satu.” Ucap
bu kantin sambil memperlihatkan satu sachet kopi instan.
“Buat lo aja” Ucap anak laki-laki yang
memesan kopi tiramisu tadi.
“Kamu aja” Ucap anak perempuan yang juga
memesan kopi tiramisu.
“Aku bisa ganti yang lain.” Ucap anak
laki-laki itu, “Bu, aku moccacino aja.” Pesan anak laki-laki itu pada ibu
kantin.
“Makasih” Ucap anak perempuan itu pelan tapi tetap terdengar oleh anak laki-laki
disampingnya. Anak laki-laki itu hanya tersenyum.
“Bu, aku duduk disebelah sana ya. Tolong
nanti di anter” Pinta anak perempuan itu sambil menunjuk meja di tengah kantin
yang kosong.
Suasana kantin sangat ramai. Vera yang baru
saja memesan es kopi kesukaaanya duduk sendirian di meja kantin yang kosong.
Gloria teman sekelasnya harus izin tidak masuk karena menghadiri pernikahan
sepupunya. Kantin SMP Mahakarya di desain seperti foodcourt mall-mall besar. Prosedurnya juga sama. Pesan, duduk dan
makanan atau minuman yang dipesan akan datang.
“Ver..”
Vera
menoleh saat seseorang memanggil namanya, “Eh?”
“Boleh duduk sini kan?” Anak laki-laki yang
tadi memesan bersama Vera menunjuk kursi dihadapan Vera dengan dagunya.
Vera mengangguk, “Itu minum siapa aja?” Tanya
Vera melihat anak itu membawa dua gelas minuman.
“Ini tempatku sama tempatmu. Tiramisu untuk
kamu, Moccacino untuk aku” Anak itu menaruh satu cup kopi di hadapan Vera lalu
manarik kursi dan duduk dihadapan Vera.
“Makasih ya.”
“Okeey..”
Vera
mengamati anak dihadapannya ini. Teman sekelasnya sekaligus teman sebangkunya
ini menarik bagi Vera. Walaupun memang anak itu menyebalkan di awal tapi
mungkin itu karena dia belum merasa nyaman pada sekolah barunya.
“Radit..” Panggil Vera.
“Ya?”
Vera
bingung topik apa yang sebaiknya dia bahas untuk membuka pembicaraan, “Udah
betah sekolah di sini?” Tanya Vera pada akhirnya.
Radit. Teman sebangku Vera yang sempat
membuat Vera tak ingin mengenalnya karena sikap Radit yang begitu ketus.
Radit mengudak-udak minumannya, “Lumayan..”
“Lumayan?”
“Iya. Aku udah ngerasa nyaman aja sama
temen-temen. Tapi belom begitu betah..” Ucapan Radit terpotong saat dia
menyeruput minumannya. “Belum bisa kumpul bareng sama anak-anak terlalu lama.”
Lanjutnya.
“Tapi menurut aku, kamu bukan tipe orang pemalu” Vera mengomentari Radit.
Radit
terkekeh, “Iya, aku memang gak pemalu. Cuma susah aja nyesuaiin diri sama
sesuatu yang baru apalagi gak aku suka”
“Jadi kamu tetep gak suka sekolah di sini?”
“He? Bukan gitu maksudnya” Tukas Radit,
“Lagipula kapan aku pernah bilang kalok aku gak suka sekolah di sini?”
“Ya cara kamu membandingkan sekolah lama mu
sama sekolah ini beberapa minggu lalu.” Ucap Vera.
Radit
mengernyitkan kening, mengingat-ingat apa pernah ia membandingkan seperti
ucapan Vera, “Oh..ya ampun. Kamu masih inget kejadian di UKS itu? Ya waktu itu
aku bener-bener belum bisa terima kalok aku harus ninggalin temen-temenku di
sekolah lama. Walaupun baru kenal setahun tapi ya kami semuakan rata-rata
hampir dari SD yang sama” Jelas Radit.
“Tapikan kamu pasti tetap harus
bersosialisasi di sini, Dit. Jangan terus kamu gak mau berteman sama kita-kita
atau menutup diri sama kita. Nanti kamu juga bakal ngehabisin waktu dua tahun
bareng kita.” Vera mulai menceramahi sikap Radit yang tertutup.
“Dua tahun? Aku gak yakin.”
“Kenapa?” Vera tampak bingung dengan jawaban
Radit.
“Ayahku sering sekali pindah-pindah tempat
kerja. Setiap ayah pindah kerja, otomatis keluargaku juga pindah.”
Vera
membulatkan mulutnya sambil mengangguk-anggukan kepalanya, “Tapi waktu pindah
ke sini, aku bilang ke ayahku kalok aku ingin lulus SMP disini dulu baru ayah
boleh pindah-pindah kerja lagi.” Ucap Radit, “Jadi nomaden tu gak enak, Ver” Tambahnya.
“Iya, aku ngerti kok. Yaudah, aku balik ke
kelas dulu ya, Dit. Kamu mau ikut apa masih mau di sini?” Tanya Vera.
“Aku ikut ajadeh. Yuk!” Ajak Radit lalu
berjalan disamping Vera.
Beberapa
pasang mata melihat kedekatan Radit dan Vera. Beberapa anak perempuan berbisik
dan melihat sinis ke arah Vera. Penggosip. Namun Vera cukup senang sudah mulai
akrab dengan Radit teman sebangkunya. Setidaknya di kelas nanti dan seterusnya
dia tidak akan bosan saat pelajaran karena bisa di selingi mengobrol dengan
Radit.