Kamis, 24 April 2014

Puzzle - Saat Hati Dirangkai (2)

Tittle: Puzzle – Saat hati dirangkai
Author: Nurul Fauziah / @ziziphong
Genre: Fiksi
##
*Tak ada manusia yang mampu hidup sendiri
Tak ada manusia yang tak ingin disayangi
Tak ada manusia yang tak berharap
Dan aku adalah manusia yang mengharapkanmu*
Bel sekolah yang berbunyi membuat Rey dan Vera lari dari parkiran sampai kelas mereka masing-masing. Mereka berlari disepanjang koridor dengan tawa, lebih tepatnya Vera menertawakan Rey yang sempat panik saat Vera memperkenalkan dirinya sebagai pacar Rey dihadapan Sinta yang jelas-jelas sedang ditaksir dan menaksir Rey.
  “Sialan lo, Kak! Ntar kalok sampek Sinta mikir macem-macem gimana?!” Rey menyalahkan sikap Vera sambil berlari kecil dikoridor.
Vera mengusap keningnya yang sedikit mengeluarkan keringat, “Alah, siapa sih di sini yang belom tau kita kakak-adik. Udah ah, kita tu dah telat..”Ucap Vera.
Rey berhenti berlari dan membuat Vera yang ikut berhenti juga, “Kenapa?” Tanya Vera akhirnya.
  “Gakpapa. Lo baik-baik ya, Kak dikelas. Gue ke kelas duluan.” Ucap Rey lalu memisahkan diri dari Vera.
Vera melihat punggung Rey yang akhirnya hilang pada persimpangan jalan, “Itu anak kenapa, sih?” Vera menatap heran kepergian Rey.
Vera menggelengkan kepala, lalu berjalan dan BUUG!
Vera sedikit terpental kebelakang, keningnya baru saja menabrak sesuatu. Ia memegang keningnya dan melihat apa yang ia tabrak. Matanya membulat, tubuhnya sedikit gemetar. Canggung.
  “Sori, Ver. Gak sengaja, gue gak liat..”
  “Gakpapa. Gue ke kelas dulu”Vera memotong orang yang ditabrak atau menabraknya.
Vera pergi meninggalkan orang itu dan masuk kelasnya, “Mau kemana, sih?” Tanya Vera pada Zena teman sebangkunya saat berpapasan dengan Zena di depan pintu kelas.
Zena memasukkan bolpen ke sakunya, “Kemana aja boleh, kita cuma dapet tugas ngerjain halaman lima-delapan.” Ucap Zena.
  “Oke, tungguin. Gue taruh tas dulu.” Vera menaruh tas nya dibangku dan mengeluarkan buku matematikanya.
  “Kita ngerjain di lapangan aja ya, Ver.” Zena menunjuk bangku dipinggir lapangan.
Vera menerawang ke arah lapangan, “Bilang aja lo nungguin Ricky. Jadwal mereka olahraga kan sekarang. Basi banget alesan lo”
Zena cuma nyengir saat mendengar jawaban Vera yang artinya modusnya untuk melihat Ricky –adek kelas incerannya- diketahui Vera, “Gakpapalah. Itung-itung bantu temen pedekate” Zena mengangkat kedua alisnya sambil tersenyum centil.
  “Hmm..yadeh” Vera menggumam dan berjalan di depan Zena. Matanya menangkap sosok yang kini berada di tengah lapangan. Tanda kelas yang dipakainya sama seperti yang dipakai Vera dan Zena.
  “Jangan di situ deh, dimana aja. Tempat lo bisa liat Ricky tapi jangan di bangku itu” Vera reflek membalikkan badan dan membuat Zena nyaris menabraknya.
  “Kenapa sih? Disitu kan adem juga, Ver” Zena bicara sambil melihat arah mata Vera. Zena menghembuskan nafasnya, “Tenang ada gue. Kalok keadaan gak ngenakin, lo boleh pergi deh. Please!” Zena mengatupkan tangannya memohon agar Vera tetap mau duduk dibangku lapangan.
Vera memutar bola matanya sambil menggigit bibirnya pelan, “Oke..” Ucapnya pelan.
  “Yeey! Lo emang paling ngerti gue deh!” Zena berjingkrak senang lalu menarik Vera ke seberang lapangan untuk duduk dibangku yang dia tunjuk.
Vera membuka bukunya, ia mulai melihat soal-soal yang diberi guru matematikanya. Reva manggut-manggut sambil membolak balik catetannya mencoba memahami bagaimana cara mengerjakan soal tersebut. Sedangkan Zena sedang menunggu kehadiran Ricky karena teman-teman sekelas Ricky sudah akan memulai pemanasan.
  “Zen, lo ngerjain nomer sebelas sampek dua puluh ya. Gue satu sampek sepuluh”Ucap Vera.
Zena melihat soal yang ia dapat, “Lo gila,Ver. Gue gak bisa. Lo ajadeh yang sebelas sampek dua puluh” Zena memprotes pembagian pekerjaan. Walaupun aslinya tugas itu bukan tugas kelompok. Tapi mereka biasa membagi tugas dan menyalin apa tugas masing-masing selesai.
  “Gue juga gak bisa. Kan lo ikut bimbel masak lo belom diajarin ini sih. Gue gak ngerti sama sekali ini apaan” Vera tetap bersikukuh untuk tak mengerjakan soal yang menjadi bagian Zena.
  “Gue aja.Gue bisa soal itu” Ucap seseorang yang tanpa sadar sudah berdiri dihadapan Vera dan Zena.
  “Eng..” Vera baru saja akan menolak tapi Zena sudah keburu menyetujuinya.
  “Oke. Benerankan lo bisa?” Ucap Zena yang membuat mata Vera melotot ke arahnya.
Zena memberikan bukunya pada orang itu, “Bisakan?” Zena mengulangi pertanyaannya lagi.
Orang itu mengangguk dan duduk disamping Zena. Vera baru saja ingin menutup bukunya dan pergi dari tempat itu, namun Zena mengambil bukunya dan membuatnya tetap stay ditempat itu.
  “Lo sama Vera kerjain satu sampek sepuluh aja. Biar yang lain gue yang ngerjain.” Ucap orang itu sambil tersenyum ke arah Zena dan Vera.
  “Okesip” Zena mengacungkan jempol.
Vera risih berada pada posisi seperti ini. Dia harus duduk bersama seseorang yang tidak ia harapkan, seseorang yang juga ada di depan pintu masuk sekolahnya tadi pagi.
  “Ver, nomer enam gue gak bisa. Lo bisa gak?” Tanya Zena.
Vera menggeleng. Menurutnya tugas ini tak pantas di hibah kan pada anak kelasnya yang notabennya pemalas. Lagipula bab ini baru dibahas satu kali, “Gak ngerti gue”
  “Yang mana?” Tanya orang yang tadi mengajukan diri untuk membantu Vera dan Zena.
Zena menoleh sambil menunjuk nomer yang ia maksud, “Ini nih. Gue sama Vera gak bisa.” Ucapnya.
  “Oh ini harus digambar dulu kurvanya buat nentuin titik x sama y” Jelas orang itu sambil menerangkan diselembar kertas buram yang sudah banyak coret-coretan pekerjaannya.
  “Lo pinter amat sih, Dit” Zena memuji orang itu yang tak lain adalah Radit. Teman sekelas dan mantan dari Vera.
Radit hanya tersenyum sebentar lalu fokus kembali pada pekerjaannya. Vera yang sudah tau bagaimana Radit hanya tersenyum remeh. Dia tau radit pintar dalam bidang matematika. Itu terbukti dari hasil ujian kelulusan SMP, Radit mendapat nilai sepuluh dalam mata pelajaran matematika.
  “Udah nih. Udah sampek dua puluh, kalian cocokin sama kerjaan kalian aja. Ntar kalok ada yang beda bilang ya. Aku ke kantin bentar” Radit menyerahkan bukunya pada Zena dan Vera lalu meninggalkan mereka berdua.
Vera menghembuskan nafas berat dan menelungkupkan kepalanya. Satu jam bersama Radit membuat pikirannya melayang-layang kemana-mana. Apalagi saat Radit berada disampingnya saat menjelaskan cara mengerjakan padanya dan Zena. Jantungnya terasa berdesir pelan dan pipinya terasa hangat.
  “Kenapa sih?” Zena bertanya pada Vera sambil asik menyalin jawaban Radit.
Vera mendongakkan kepalanya dan menoleh ke arah Zena tanpa menjawab pertanyaan Zena. Vera malah asik mengetuk-ngetukan jarinya pada meja yang mereka pakai.
  “Kenapa?” Tanya Zena lagi.
Vera menoleh, “Apanya yang kenapa?” Tanya Vera pada akhirnya.
Zena merapikan buku-bukunya, “Kenapa lo putus sama Radit?”
Vera tercengang mendengar pertanyaan itu. Memang bukan hal baru mendengar pertanyaan itu muncul dari mulut Zena, tetapi tetap saja semakin sering Zena bicara semakin Vera menutup diri untuk tak menceritakan alasannya.
  “Takdir kalik” Jawab Vera asal.
Zena tersenyum miring, “Radit tu perfect. Lo nemuin kekurangan apa sih di dalem dirinya?” Tanya Zena lagi. Dia memang ingin tahu apa alasannya. Bukan, bukan hanya sekedar ingin tahu tapi juga ingin membantu. Membantu apabila Vera ingin mencoba move on  dari Radit.
  Vera mendesah kasar, “Lo gak tau dia sebenernya, Zen” Ucapnya datar sambil menatap anak-anak kelas dua bermain basket.
  “Ya makanya lo cerita ke gue. Lo aja gak pernah cerita gimana gue tau. Masak iya gue harus jadi mantan Radit dulu. Kan gak mungkin.” Zena terus memojokkan Vera.
  “Yaudah lo coba aja pacaran sama dia. Siapa tau jodoh” Vera menjawab semakin asal.
“Hei, serius amat ngobrolnya. Nih aku beliin minum” Radit datang sambil membawa dua cup es teh dan satu cup minuman yang terlihat seperti kopi.
  “Ini teh buat kamu, Zen. Yang ini kopi tiramisu buat kamu, Ver” Ucap Radit sambil menaruh cup-cup minuman itu di hadapan Zena dan Vera.
Zena langsung berterimakasih dan menyeruput es teh nya. Sedangkan Vera hanya menatap kosong cup kopi tiramisunya.
 Tiramisu untuk kamu, Moccacino untuk aku. Vera mengingat ucapan Radit yang dahulu.
  “Gue gak suka kopi” Ucap Vera sambil menyodorkan kopi pemberian Radit pada Radit.
Radit mengernyitkan dahi, “Lhoh bukannya..”
  “Enggak. Aku gak suka kopi.”
  “Yaudah kamu teh aja nih. Belom aku minum kok” Radit menyodorkan es teh yang ia pegangi.
  “Aku gak mau. Kamu kasih ke  yang lain aja” Sahut Vera cepat.
 “Rick! Ricky!” Radit memanggil satu nama anak yang tak asing ditelinga Vera apalagi Zena.
Ricky –adik kelas incaran Zena- menoleh ke arah Radit. Radit memberi isyarat pada Ricky untuk menghampirinya. Ricky berlari kecil menuju tempat Radit. Zena sudah menyikut Vera berkali-kali karena panik.
  “Duuuhh..ganteng banget Ver. Kok Radit kenal sih” Zena berbisik pelan pada Vera.
“Buat lo..” Radit memberi cup es teh miliknya pada Ricky.
Ricky menerimanya dengan senang hati, “Buat gue? Thanks, Kak. Gue balik ke tempat temen-temen ya.”
  “Ganteng banget!” Pekik Zena yang membuat Radir menoleh.
Zena lalu membungkam mulutnya sendiri, “Kenapa? Naksir ya sama Ricky?” Goda Radit sambil menaik turunkan alisnya.
  “Eh..eh..” Zena jadi salah tingkah, “Jangan bilang ya, Dit ke orangnya. Jaim lah masak kakak kelas naksir adik kelas. Tapi kok lo bisa kenal sih? Siapa lo? Adik lo? Eh, gak mungkin lo kan anak tunggal. Sepupu? Atau tetangga lo? Kenalin dong”
Namun sama sekali tak di gubris Radit. Radit sedang menatap Vera yang juga menatapnya. Mata mereka bertemu, saling membaca pikiran dari lawan yang ia lihat. Mata Vera yang terlihat memancarkan kelembutan dan mata Radit yang terlihat tegas. Ada yang mereka bicarakan dari tatapan mata itu. Entah apa dan bagaimana menjelaskannya, merekapun tak mengerti.
  “Ehem..” Zena mendehem. Membuat Radit dan Vera tersadar dari kekaguman masing-masing.
  “Napa lo, Dit ngeliat Vera serius amat. Naksir? Apa pengen balikan?” Tanya Zena.
Radit terkekeh, “Apaan sih lo, Zen. Ricky tu tetangga gue. Mau gue kenalin?” Radit menggoda Zena kembali.
Zena merangkul Vera, “Kalok ini temen gue. Gimana? Lo mau..”
Vera melepaskan diri dari rangkulan Zena, “Gue mau balik ke kelas.”  Zena merapikan buku-bukunya dan membawanya pergi dari bangku itu. Bercandaan Zena membuatnya tak ingin lama-lama berada di sana.
  “Eh..Eh” Zena ikut merapikan buku-bukunya saat Vera mulai beranjak dari tempat itu, “Tungguin dong, Ver.”
Vera sama sekali tak mendengar permintaan tunggu dari Zena. Ia sudah dongkol abis di pojokkan oleh Zena.
  “Aduh, mana ini bolpenku..” Zena panik sambil mencari-cari bolpen miliknya. Sedangkan Radit hanya terdiam di sampingnya.
  “Zen..” Radit memanggil Zena pelan namun tetap terdengar.
  “Apa?”
  “Gue boleh ngomong sama lo bentar gak? Bentar aja.” Mohon Radit tegas.
Zena memiringkan kepalanya, “Ngomong apa?”
  “Vera.”
Vera  tetap berjalan di koridor. Ia akhirnya berhenti karena merasa Zena tak mengikutinya. Benar saja, Zena memang tak mengikuti atau mengejarnya. Vera makin dongkol apalagi setelah melihat ke arah bangku di lapangan yang ia pakai tadi.
  Zenaaaaaa..lo malah ngapain sih di sana. Vera membatin dengan geram melihat Zena yang tak mengejarnya tetapi malah asik ngobrol dengan Radit.
Vera melanjutkan langkahnya menuju kelas. Sesampainya di kelas ia merogoh isi tasnya, mencari ponselnya. Ia mengetik pesan pada seseorang,
  Dimana? Istirahat ketemu di tempat biasa ya. Bete banget gue. Begitu isi pesannya, ia mengetik nama pengirim dan mengirim pesan tersbut.
Satu jam pelajaran sejarah makin terasa lama semenjak Zena berubah menjadi pendiam. Vera sempat beberapa kali memngada-adakan topik untuk membuat Zena yang sekarang diam menjadi hyperaktif seperti biasanya, tapi usahanya gagal. Jadilah, Vera ikut-ikutan diam selama pelajaran sejarah berlangsung.
Saat bel tanda istirahat berbunyi dan Pak Romi sudah keluar dari kelas, Vera merogoh kantongnya untuk mengambil ponsel.
Vera mengetik nama yang tadi sempat ia kirimi pesan, “Halo? Udah disana?” Tanya Vera setelah sambungan terhubung, “Oke, gue ke sana” Ucap Vera dan memutuskan sambungan.
  “Mau kemana?” Tanya Zena yang mendengar percakapan Vera.
Vera menoleh, akhirnya Zena bersuara juga, “Mau ketemu Rey. Mau ikut?” Vera memang biasa mengajak Zena bertemu Rey.
Zena menggeleng, “Yaudah aku duluan” Pamit Vera lalu meninggalkan kelas.
  “Mau kemana?”
  “Eh?” Zena kaget saat Radit sudah berdiri disampingnya, “Ketemu Rey katanya.” Jawab Zena tanpa bertanya siapa yang di maksud Radit.
Vera melangkahkan kaki menuju taman belakang sekolahnya. Taman ini memang ramai saat istirahat. Vera mencari-cari sosok Rey, biasanya mereka akan duduk di bawah pohon ketapang, satu-satunya pohon ketapang yang ada di sekolah mereka. Seseorang melambai-lambaikan tangan ke arah Vera, Vera melihat dan mengangkat tangannya, memberi isyarat bahwa dia sudah melihat lambaian tangan itu.
  “Haaah..” Vera mendesah kasar sambil mendudukkan diri disamping Rey.
Rey mengeluarkan beberapa makanan dari kantong plastik hitam yang ia bawa, isinya minum dan beberapa snack yang ia beli di kantin sebelum datang ke taman. Vera selalu senang bertemu Rey saat istirahat di tempat ini. Rey selalu membeli beberapa snack dan mereka akan memakannya seakan-akan sedang piknik keluarga.
  “Jadi, kali ini apa masalahnya?” Rey membuka pembicaraan setelah menegak beberapa air.
Vera bertopang dagu, “Zena.” Jawabnya singkat
  “Zena?”
Vera mengangguk, “Tadi gue ngerjain tugas bareng dia..” Vera menggigit biskuit yang di beli Rey.
  “Terus?” Rey bertanya sambil membuka bungkus chiki yang ia beli.
  “Sama if-you-know-what-i-mean juga” Lanjut Vera dan sukses membuat kunyahan Rey terhenti.
  “if-you-know-what-i-mean? Kok bisa?”
Vera menghembuskan nafas pelan, “Ya..”
  “Tunggu deh, kak. Bisa gak sih kita bikin inisial lebih singkat. If-you-know-what-i-mean  itu panjang banget” Rey protes pada Vera yang memberi inisial nama orang yang sedang mereka bicarakan yang terlalu panjang.
Vera melengos, ada –ada ajasih Rey. Batinnya. “Yaudah kamu mau kita pakek inisial apa?” Tanya Vera pada Rey akhirnya.
Rey sedikit berpikir, “Gimana kalok if-you-know-what-i-mean-i-know-what-you-mean” Ucap Rey dengan satu tarikan nafas.
  “Sinting!”Vera mengumpat sambil menoyor kepala Rey.
Rey terkekeh, “Ya apakek gitu” Ucap Rey.
Vera mendesis, “Issh.. Udahlah ajalah. Gak usah banyak protes lu.”
Rey hanya bergumam, “Terus?” Tanyanya siap mendengarkan kelanjutan cerita Vera.
 “Ya, soalnya Zena minta  if-you-know-what-i-mean ngerjain tugas yang aku sama Zena  gak bisa ngerjain”
  “Jadi lo bete karena itu?”
  “Ya enggak. Pas akhir-akhir si if-you-know-what-i-mean beliin gue sama Zena minum..”
  “Terus?” Rey memotong ucapan Vera yang membuat Vera langsung membungkam mulut Rey.
  “Diem dulu. Cerewet amat!” Vera melepaskan bungkamannya.
  “Ya makanya cerita gak usah pakek jeda kelamaan. Istirahat kita cuma limabelas menit” Protes Rey.
  “Yaudah, intinya tadi Zena nanyain gue kenapa gue putus sama if-you-know-what-i-mean. Dia juga ngenalin gue ke if-you-know-what-i-mean seakan-akan gue sama dia baru ketemu dan nanya ke if-you-know-what-i-mean apa dia mau balikan sama gue.”
Rey baru saja akan menanggapi tapi dia menutup mulut lagi saat tau Vera sudah siap membungkam mulutnya lagi, “Terus akhirnya gue tinggalin dia di lapangan bareng if-you-know-what-i-mean. Bukannya ngejar gue, mereka malah ngelanjutin ngobrol. Bete gak sih?” Vera menyudahi ceritanya sambil menegak minuman Rey.
  “Lo jealous,Kak”
  “Uhuuk..uhuuk..” Vera tersedak mendengar pernyataan Rey.
Rey menepuk pelan punggung Vera, “Santai, kak..gak usah salting gitu.” Rey terkekeh
  “Sialan lo! Bisa-bisanya bilang gue jealous”
Rey makin terpingkal melihat ekspresi kakaknya itu, “Yaudah, gak jealous. Terus sisi betenya dimana? Zena bercanda kalik bilang kayak gitu”
  “Kok lo jadi mbelain Zena sih.” Keluh Vera.
  “Ya habisnya Kak Vera gak bisa bedain mana yang bercanda, mana yang seriusan. Ya kalok emang serius ya siapa tau kakak sama Ra..”
  Vera segera membungkam mulut Rey yang akan menyebutkan nama asli inisial yang sedang mereka bicarakan, “if-you-know-what-i-mean, Reeeeeyyy” Vera mendesis sambil melebarka matanya menatap Rey.
  Rey terpingkal dalam bungkaman Vera. Ia berusaha melepaskan tangan Vera dari mulutnya tapi Vera membungkam mulutnya sangat rapat. Rey pun mengeluarkan jurus pembalasan yaitu menggelitiki tengkuk Vera dan alhasil membuat Vera memekik. Kakak beradik  itu saling membalas, melupakan setiap beban yang sedang di rasakan. Lebih tepatnya beban Vera.
--
  “Bu, kopi tiramisu satu” Ucap dua anak secara bersamaan kepada ibu penjual kantin.
Mereka saling menoleh ke arah datangnya suara, “Tapi tiramisunya tinggal satu.” Ucap bu kantin sambil memperlihatkan satu sachet kopi instan.
  “Buat lo aja” Ucap anak laki-laki yang memesan kopi tiramisu tadi.
  “Kamu aja” Ucap anak perempuan yang juga memesan kopi tiramisu.
  “Aku bisa ganti yang lain.” Ucap anak laki-laki itu, “Bu, aku moccacino aja.” Pesan anak laki-laki itu pada ibu kantin.
  “Makasih” Ucap anak perempuan itu pelan  tapi tetap terdengar oleh anak laki-laki disampingnya. Anak laki-laki itu hanya tersenyum.
  “Bu, aku duduk disebelah sana ya. Tolong nanti di anter” Pinta anak perempuan itu sambil menunjuk meja di tengah kantin yang kosong.
  Suasana kantin sangat ramai. Vera yang baru saja memesan es kopi kesukaaanya duduk sendirian di meja kantin yang kosong. Gloria teman sekelasnya harus izin tidak masuk karena menghadiri pernikahan sepupunya. Kantin SMP Mahakarya di desain seperti foodcourt mall-mall besar. Prosedurnya juga sama. Pesan, duduk dan makanan atau minuman yang dipesan akan datang.
  “Ver..”
Vera menoleh saat seseorang memanggil namanya, “Eh?”
  “Boleh duduk sini kan?” Anak laki-laki yang tadi memesan bersama Vera menunjuk kursi dihadapan Vera dengan dagunya.
  Vera mengangguk, “Itu minum siapa aja?” Tanya Vera melihat anak itu membawa dua gelas minuman.
  “Ini tempatku sama tempatmu. Tiramisu untuk kamu, Moccacino untuk aku” Anak itu menaruh satu cup kopi di hadapan Vera lalu manarik kursi dan duduk dihadapan Vera.
  “Makasih ya.”
  “Okeey..”
Vera mengamati anak dihadapannya ini. Teman sekelasnya sekaligus teman sebangkunya ini menarik bagi Vera. Walaupun memang anak itu menyebalkan di awal tapi mungkin itu karena dia belum merasa nyaman pada sekolah barunya.
  “Radit..” Panggil Vera.
  “Ya?”
Vera bingung topik apa yang sebaiknya dia bahas untuk membuka pembicaraan, “Udah betah sekolah di sini?” Tanya Vera pada akhirnya.
  Radit. Teman sebangku Vera yang sempat membuat Vera tak ingin mengenalnya karena sikap Radit yang begitu ketus.
 Radit mengudak-udak minumannya, “Lumayan..”
  “Lumayan?”
  “Iya. Aku udah ngerasa nyaman aja sama temen-temen. Tapi belom begitu betah..” Ucapan Radit terpotong saat dia menyeruput minumannya. “Belum bisa kumpul bareng sama anak-anak terlalu lama.” Lanjutnya.
  “Tapi menurut aku, kamu bukan tipe orang  pemalu” Vera mengomentari Radit.
Radit terkekeh, “Iya, aku memang gak pemalu. Cuma susah aja nyesuaiin diri sama sesuatu yang baru apalagi gak aku suka”
  “Jadi kamu tetep gak suka sekolah di sini?”
  “He? Bukan gitu maksudnya” Tukas Radit, “Lagipula kapan aku pernah bilang kalok aku gak suka sekolah di sini?”
  “Ya cara kamu membandingkan sekolah lama mu sama sekolah ini beberapa minggu lalu.” Ucap Vera.
Radit mengernyitkan kening, mengingat-ingat apa pernah ia membandingkan seperti ucapan Vera, “Oh..ya ampun. Kamu masih inget kejadian di UKS itu? Ya waktu itu aku bener-bener belum bisa terima kalok aku harus ninggalin temen-temenku di sekolah lama. Walaupun baru kenal setahun tapi ya kami semuakan rata-rata hampir dari SD yang sama” Jelas Radit.
  “Tapikan kamu pasti tetap harus bersosialisasi di sini, Dit. Jangan terus kamu gak mau berteman sama kita-kita atau menutup diri sama kita. Nanti kamu juga bakal ngehabisin waktu dua tahun bareng kita.” Vera mulai menceramahi sikap Radit yang tertutup.
  “Dua tahun? Aku gak yakin.”
  “Kenapa?” Vera tampak bingung dengan jawaban Radit.
  “Ayahku sering sekali pindah-pindah tempat kerja. Setiap ayah pindah kerja, otomatis keluargaku juga pindah.”
Vera membulatkan mulutnya sambil mengangguk-anggukan kepalanya, “Tapi waktu pindah ke sini, aku bilang ke ayahku kalok aku ingin lulus SMP disini dulu baru ayah boleh pindah-pindah kerja lagi.” Ucap Radit, “Jadi nomaden tu gak enak, Ver” Tambahnya.
  “Iya, aku ngerti kok. Yaudah, aku balik ke kelas dulu ya, Dit. Kamu mau ikut apa masih mau di sini?” Tanya Vera.
  “Aku ikut ajadeh. Yuk!” Ajak Radit lalu berjalan disamping Vera.

Beberapa pasang mata melihat kedekatan Radit dan Vera. Beberapa anak perempuan berbisik dan melihat sinis ke arah Vera. Penggosip. Namun Vera cukup senang sudah mulai akrab dengan Radit teman sebangkunya. Setidaknya di kelas nanti dan seterusnya dia tidak akan bosan saat pelajaran karena bisa di selingi mengobrol dengan Radit. 

Rabu, 23 April 2014

Puzzle - Saat Hati Dirangkai (1)

Tittle: Puzzle – Saat Hati Dirangkai
Author: Nurul Fauziah / @ziziphong
Genre: Fiksi
##
*Jangan salahkan waktu saat kita bertemu.
Bukan hanya kamu yang tak menginginkan kita kembali, akupun juga.
Hanya saja, semakin waktu berjalan, semakin juga aku mencintaimu kembali.
Datanglah apabila datang, pergilah apabila kamu lelah.
Tetapi jangan datang untuk pergi kembali, atau pergi untuk datang kembali.
Aku mencintaimu masa laluku.*
Seorang gadis tengah duduk di balkon kamarnya di lantai dua, ia sedang asik menatap langit yang menaburkan bintang-bintang. Bukan hal baru apabila ia menikmati malam seperti ini meskipun udara dingin menerpa tubuh mungilnya yang berbalut pakaian tidur. Udara dingin itu tak membuatnya ingin segera beranjak ke tempat tidur yang sudah pasti lebih hangat didalam kamarnya. Dia masih ingin menikmati malam hingga bintang-bintang yang ia lihat menghilang, jika ia bisa.
  “Aku tau, akan ada hari dimana aku dan kamu menjadi kita. Tetapi entah di masa apa..” Ucapnya lirih.
Tok!Tok!  
Suara pintu membuatnya tersadar dari ucapan demi ucapan yang dia rangkai dan ia resapi sendiri, “Iya, masuk aja..” Ia sedikit berteriak tanpa ada niat untuk beranjak meninggalkan keindahan langit malam ini.
  “Kok belom tidur, kak?” Tanya seorang laki-laki bertumbuh sedikit lebih tinggi dari sang pemilik kamar. Ia berjalan masuk dan duduk di karpet kamar gadis itu.
Gadis itu menengok, “Belom. Kenapa?” Gadis itu balik bertanya dan melangkah memasuki kamarnya dan duduk di tempat tidurnya sambil menyingkirkan ponselnya yang tergeletak sedari tadi ke meja kecil di samping tempat tidurnya.
  “Gakpapa, Cuma pengen ke sini aja”
  “Rey..”
Yang di panggil mendongakkan kepalanya, “Ya?”
  “Menurut lo, gue harus gimana?” Tanya gadis itu tanpa memandang laki-laki yang sekarang berada dihadapannya. Gadis itu tau bahwa laki-laki yang ada dihadapannya tau kemana topik yang diarahkan gadis itu.
Laki-laki yang dipanggil Rey menghela nafas, “Mau sampai kapan?” Bukannya menjawab, laki-laki itu malah balik bertanya.
Gadis pemilik kamar itu menggeleng, “Kenapa ya?” Ia bertanya lagi pada laki-laki itu lagi.
  Rey tersenyum, “Semua udah ada yang atur, kak.” Jawabnya pada sang pemilik kamar yang tak lain tak bukan adalah kakak perempuannya.
Suasana hening. Kakak-beradik itu tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Tanpa diberitahu, Rey sudah tau apa  yang menyebabkan kakak perempuannya itu melamun pada malam hari seperti ini. Vera, gadis pemilik kamar yang sekarang sedang disinggahi Rey adalah gadis yang sedang merasakan yang namanya dilema, antara melanjutkan semua yang sudah berakhir atau mengakhiri yang sudah berakhir. Vera memang bukan kakak Rey satu-satunya, Rey anak paling bungsu, mempunya tiga kakak. Kakak pertama dan keduanya adalah kembar dan Vera adalah anak ketiga.
  “Kalian ngapain?”Tanya seseorang sambil bersender di pintu kamar Vera sambil membawa segelas air putih. Tubuhnya langsing bak seorang model, rambutnya pendek model bob dan mempunyai wajah yang cantik serta lesung pipi yang membuatnya tampak manis apabila tersenyum.
Vera dan Rey tersentak mendengar suara dari orang di pintu kamar Vera, membuat orang yang sedang bersender di pintu kamar Vera mengernyitkan dahi.
  “Kenapa sih kalian?” Orang itu bertanya sambil memasuki kamar Vera dan duduk di tempat tidur Vera.
  “Biasa, kak. Kak Vera galau-galau unyu gitu” Ucap Rey sambil memasang muka sok unyu, kedua tangannya ditopangkan pada dagu dan bibirnya di manyun kan.
Vera melotot pada Rey yang mulutnya udah kayak ember bocor, “Nggak, kak! Bohong, Rey tuh yang galau” Ucap Vera.
  “Yaelah, hari gini masih pada galau?Sama!” Ucap orang yang dipanggil Kak oleh Rey dan Vera tadi.
  “Jadi Kak Ria juga galau?Ya ampun kenapa sih cewek-cewek itu pada hobi galau? Kenapa? Kenapa Tuhan?!” Ucap Rey sok dramatis dan menyebabkan sebuah bantal mendarat diwajahnya.
  “Aduh!”Ia meringis kesakitan dan melihat dari mana arah bantal itu berasal. Ternyata yang melempar adalah sesosok laki-laki yang merasa tidurnya terganggu karena celotehan di kamar Vera.
  “Berisik amat sih kalian! Nggosip malem-malem, ati-ati gak tidur tenang ntar kalian” Ucap laki-laki itu dan ikut mengisi ruang kamar Vera.
  “Sapa juga yang nggosip,Sat” Ucap Ria saat laki-laki itu duduk dikursi belajar Vera.
  “Terus ngapain malem-malem gini ngumpul di sini? Elu lagi Rey, inget lo tuh cowok mana jati diri lo sebagai cowok. Jangan bikin gue sebagai kakak cowok lu jadi malu karena lo udah berubah jadi cewek yang hobi banget nggosip”Cerocos Satria tanpa henti. Bagi dia, Rey adalah sesosok adik yang menjadi tanggung jawabnya, sedangkan Vera sudah pasti menjadi tanggung jawab Ria.
  “Yaelah, Kak. Gue masih cowok kalik dan sekalipun gue berubah jadi bencong pun pasti temen-temen cewek gue disekolah masih ngejar-ngejar gue. Secara cowok paling ganteng seantero SMA Perdana itu gue.” Rey mulai mengeluarkan kenarsisannya. Rey memang cowok yang oke punya. Dia punya tubuh jangkung, tegap dan berkharisma. Sayangnya walau dia tampak seperti pangeran tetap saja dia belum mempunyai gandengan yang menurutnya pas untuk menyamakan langkah kakinya.
Satria menoyor kepala Rey, “Sadar, woy! Sebelum lo masuk di SMA Perdana, gue juga kayak lo. Lo tu cuma jiplakan gue versi baru. Not bad sih tapi tetep kece gue”
  “Issh..”Ria mendesis mendengar kembarannya –Satria- mulai menceritakan masa-masa SMA mereka. Ya, Satria dan Ria memang kembar dan selalu satu sekolah. Ria masih ingat gimana temen-temen ceweknya mendekati dia hanya untuk sekedar berkenalan dengan Satria.
“Ngapa lo? Sirik ye?” Tanya Satria
“Kalok gue sirik nape? Itu juga yang sekarang jadi pacar lo itu sahabat gue kalik. Inget siapa yang ngejar, sahabat gue apa lo. Sok kegantengan lo!” Protes Ria
Vera terkekeh melihat keributan kedua kakaknya dan adiknya, suasana kamar semperti ini memang kerap terjadi. Ntah dikamar Vera, Ria atau kamar Satria dan Rey.
  “Apa lo, Ver ketawa-tawa. Jomblo aja ketawa-tawa”
“Ehem..” Rey berdehem, protes mengingatkan Satria bahwa diruangan itu bukan hanya Vera yang jomblo.
  “Tuhkan apa gue bilang, dari anak ayah sama bunda cuma gue yang paling laris, habis itu baru Ria. Kalian berdua tu..”Satria berhenti bicara sembari memikirkan kalimat yang akan ia ucapkan, “udah di takdirin jomblo” Lanjutnya.
  “Sialan lo kak!” Vera melempar bantal ke arah Satria. Satria hanya terkekeh melihat ekspresi Vera dan Rey yang memandangnya dengan wajah killer.
“Terus kalian ngapain pada ngumpul di sini kalok gak ngomongin orang alias nggosip? Ngaku aja deh” Ucap Satria.
 “Ada yang galau, Sat. Biasa kayaknya lagi kena cinta monyet gitu” Ucap Ria sambil melirik kearah kedua adiknya. Rey tampak santai sedangkan Vera agak terlihat canggung dilirik kakak perempuannya seperti itu. Pasalnya, dia hanya biasa curhat dengan Rey dibanding kedua kakaknya.
Satria mengernyitkan dahi, ikut melirik ke arah adik-adiknya, “Emang pada galau kenapa, sih? Kalok Rey mah gak usah ditanya, pasti gak jauh jauh dari si Sinta anak kelas lo itukan, dek?” Tanya Satria memastikan bahwa benar nama yang ia sebut itu satu kelas dengan Rey.
  “Iya, Sinta yang hatinya kayak malaikat banget. Tapi kenapa harus galau gara-gara malaikat sebaik Sinta. Sinta mah gak mungkin php-in aku.”
Satria memutar bola matanya, berarti Vera , batinnya.
  “Jadi elo Ver yang galau?” Tanya Satria pada akhirnya.
Vera masih bingung menanggapi pertanyaan Satria, “Gak galau sih, kak. Biasa aja sebenernya. Kak Vera sama Rey aja yang lebe” Vera menanggapi dengan datar.
  “Lhoh! Kok aku di bilang lebay sih, Rey tuh yang ceritanya heboh. Ya akukan gak tau kalok kamu gak galau, Ver” Ria memprotes adik perempuannya dan menyalahkan adik laki-laki nya.
  “Eh..kok..kok aku sih?” Rey ikut tak mau disalahkan. Ia melihat Vera yang sedang memberi kode dengan matanya yang artinya please, gak usah cerita ke mereka.
 Rey menghela nafas, “Iyadeh aku ngaku. Bukan Kak Vera yang galau, aku yang galau..”
Satria langsung membenarkan duduknya, yang tadinya disamping Rey menjadi tepat didepan Rey. Menutupi pandangan Ria dan membuat Ria memukul kepala Satria dengan bantal, “Pala lo minggir!”
Rey mulai bercerita, menceritakan sesuatu yang sebenarnya enggak pernah terjadi di masalah percintaanya. Tokoh yang ia ceritakan juga tentang ia dan Sinta, idaman hati dikelasnya.
  “Gitu kak,ceritanya..”Ucap Rey mengakhiri ceritanya.
Ria manggut-manggut, “Jadi lo galau karena banyak saingannya ya, Rey?” Tanya Ria.
 Rey mengangguk, “Yoi, kak”
  “Tapi kok lo keliatan seneng sih punya saingan. Malah gak keliatan kalok lo galau” Timpal Satria.
  “Seneng? Aku emang seneng kak punya saingan, berartikan aku gak salah pilih Sinta. Tapi aku galaunya karena sikap Sinta yang baik itu, kan jadi susah bedain mana baik karena suka sama mana baik yang cuma sekedar pengen temenan.” Curhat Rey seakan benar-benar mengalami hal itu. Padahal sudah jelas Sinta lebih perhatian padanya, bahkan pernah ada teman Sinta yang bilang, jika Sinta juga naksir Rey.
  “Coba deh lo pura-pura jual mahal. Coba beberapa hari lo gak perhatiin dia, kalok dia tetep perhatiin lo..Fix! Dia mungkin ada hati sama lo!” Saran Ria.
Satria berdecak, “Ck..basi amat sih cara lo Ri. Gini, lo langsung tembak aja dia. Urusan diterima atau gak itu urusan belakangan. Toh kan lo bilang banyak yang naksir lo, tinggal pilih satu cewek aja buat pelarian” Saran dari Satria meluncur tanpa memikirkan bahwa ada dua makhluk bernama perempuan di kamar itu.
  “Jahat banget sih lo, kak! Pikirin perasaan cewek kalik. Masak iya jadiin pelarian. Anak orangg tuh, ntar kalok gak mau sekolah gimana? Kalok ngadu ke ayah ibunya gimana?” Vera nyerocos mengomentari saran Satria.
  “Iya, pikir dong, Sat. Masih satu SMA tuh. Ntar kalok labil terus bunuh diri kan keluarga kita juga ikut repot” Ria bergidik ngeri membayangkannya.
Satria menghela nafas, “Huuuf...Ya ampun Tuhan kenapa kau memberi hamba saudara perempuan dengan tingkat ke-lebay-an diatas rata-rata begini. Hamba gak sanggup,Tuhan.”Ucap Satria sambil mengadahkan tangan.
Rey terkekeh, “Ini kenapa jadi pada lebay semua, sih. Aku yang ngalamin aja biasa aja kok kalian malah kayak gini” Ucap Rey heran.
Perbincangan dilanjutkan dengan saran-saran romantis ala Ria dan saran-saran ngeri ala Satria. Kedua saudara kembar itu memang punya cara sendiri dalam memberi petuah pada Rey ataupun Vera. Tetapi saran-saran itu hanyalah kedok agar adik-adiknya tidak terlalu memikirkan masalah yang mereka hadapi. Bukan berarti membiarkan masalah itu hadir tapi agar berpikir bahwa setiap masalah ada jalan keluarnya.
  “Udah nih, gak galau-galau lagikan sekarang? Udah yok balik kamar masing-masing. Kasian Vera tuh udah kelas tiga bentar lagi ujian pasti udah capek banget mikir” Ucap Ria sambil mengambilkan bantal yang dilempar Vera tadi. Satria sudah keluar duluan sambil membawa gelas yang di bawa Ria tadi. Ria membuka pintu kamarnya yang tepat berada di depan kamar Vera dan menutupnya.
  “Dah ya, Kak. Semuanya bakal baik-baik aja. Aku ke kamar ya. Good night kak Vera sayang” Ucap Rey manis sambil menutup pintu kamar Vera.
Keadaan kamar Vera menjadi sunyi lagi sepeninggal kakak dan adiknya. Ia berjalan menutup pintu balkon dan menutup gordennya. Ia membaringkan badan pada kasur empuknya, dia mencoba memejamkan matanya walaupun masih terasa sulit.
  “Selamat malam, sampai bertemu” Ucap Vera dan terlelap dalam tidurnya.
--
   “Hey, namaku Verania Allyska. Kamu bisa panggil aku, Vera.” Vera mengulurkan tangan pada anak lelaki yang baru saja duduk di kursi sampingnya.
Anak laki-laki itu menoleh kearah Vera, tepatnya melihat uluran tangan Vera, “Radit” Ucap anak laki-laki itu tanpa menjabat tangan Vera.
Vera menarik pelan uluran tangannya, sombong banget, pikirnya.
  “Radit, selamat datang di SMP Mahakarya semoga kamu betah dan dapat menyesuaikan diri dengan teman-temanmu ya” Ucap Pak Pram, Wali kelas Vera sekaligus guru biologi.
Anak baru itu, yang duduk disamping Vera yang bernama Radit hanya mengangguk dengan senyum yang dibuat nampak seperti senyum bahagia.
  Pak Pram lalu keluar dari kelas, kebetulan kelas Vera sedang kosong. Bu Hana yang seharusnya mengajar berhalangan hadir karena semalam anaknya masuk rumah sakit. Alhasil membuat kelas Vera menjadi gaduh, beberapa anak-anak sudah keluar kelas, sebagian anak cewek menggerombol sambil membaca majalah yang dibawa salah satu dari mereka, dan yang lainnya menuju tempat duduk Vera. Bukan, bukan tempat duduk Vera tetapi Radit.
  “Hai, bro. Salam kenal yeeh” Ucap salah satu anak laki-laki sambil membentuk tangannya menjadi metal.
  “Apaan sih, Rik. Hai aku Marsya, kamu bisa panggil aku Shasa. Kalok ini namanya Riko. Dia emang agak gila” Gadis berkucir kuda memperkenalkan dirinya dan anak laki-laki yang menyapa Radit tadi.
Riko mendesis, “Ish..Gue gak gila. Lo tuh  cewek centil! Dit, lo jangan sampek jatuh cinta sama Shasa ya. Dia playgirl”Riko balik ‘memperkenalkan’ Shasa.
Shasa memukul bahu Riko dengan penggaris yang dibawanya, “Enak aja! Lo tuh yang playboy”  Ucap Shasa.
Radit hanya menatap calon teman sekelasnya itu dengan tatapan datar. Dia benar-benar tak punya minat bersekolah ditempat ini, sekalipun memang sekolah ini sepertinya lebih elite daripada sekolah lamanya.
 Vera berdiri dari tempat duduknya, lalu pergi keluar kelas. Ia merasa risih melihat tingkah laku Riko dan Shasa yang memang sudah di cap cowok dan cewek paling bawel di kelas. Vera memilih pergi ke UKS dan membaca novel yang ia bawa dari rumah.
  “Jadi lo pindahan dari SMP mana, Dit?” Riko bertanya pada Radit setelah Shasa akhirnya pergi dari mereka.
  “Abadi” Ucap Radit datar. Membuat Riko mengernyitkan dahinya.
  “UKS disebelah mana ya?” Tanya Radit tiba-tiba
Riko baru saja akan menawarkan mengantar tetapi ia merasa Radit sedang tidak ingin di ganggu, “Keluar kelas, ke kiri ikutin aja koridor nanti ada belokan ke kiri.” Jelas Riko.
Radit berterimakasih lalu keluar dari kelas, “Bisa gila gue lama-lama sekolah disini. Anaknya aneh semua. Abnormal! Gila!” Radit ngedumel selama perjalanannya menuju UKS.
  Pintu UKS itu sedikit terbuka, Radit membukanya perlahan. Ada seseorang didalamnya, “Radit?” Ucap orang itu membuat Radit mengurungkan niatnya untuk masuk dan menutup pintu. Tetapi orang itu lebih cepat untuk menahan pintu UKS tertutup.
  “Kamu sakit?” Orang itu bertanya namun seakan bertanya kamu bisa sakit?
Radit menggeleng dan segera beranjak dari hadapan Vera, “Terus ngapain?” Vera menarik lengan Radit dan membuat Radit tetap berada dihadapannya.
Radit merutuki hari pertamanya masuk di SMP  Mahakarya dan harus bertemu makhluk aneh di SMP ini termasuk Vera, “Lepasin, Ver” Radit menarik tangannya yang dicengkram Vera.
  “Bukan urusanmu jugakan aku mau ngapain.”
Vera tercengang. Bukan, bukan karena Radit bicara seperti itu, tapi lebih ke Radit mengetahui bahwa namanya adalah Vera. Berarti perkenalan di kelas tadi tidak sia-sia bagi Vera. Mimik muka Vera berubah, “Ya bukan sih..” Ucap Vera.
  “Yaudah. Toh, ngapain juga kamu di UKS baca novel. Kalok ada yang sakit gimana? Baca kok di UKS. Emang di sekolah ini gak ada yang namanya perpustakaan..” Radit mulai merendahkan sekolah barunya tersebut.
Vera mengernyitkan dahi, ia bingung kenapa Radit terlihat tak nyaman bersekolah di sini, “Aku kasih tau ya, Radit. Sekolah ini punya perpus dan alasan kenapa aku nggak baca di perpus adalah karena perpus lagi di pake sama anak kelas lain buat pembelajaran. Terus kalok ada yang sakit aku tinggal pergi aja, simpel kan. Lagipula kalau kamu yang sakit, kamu gak akan masuk UKS ini” Vera menjelaskan dengan enteng.
Radit lalu mengernyitkan dahinya, “Kenapa? Inikan UKS dan emang tempat orang sakit. Kenapa aku gak boleh disini kalok emang aku sakit?” Radit bertanya seolah-olah dia harus benar berada disini sekarang, dengan atau tidak dengan alasan sakit.
“Tuh liat!” Vera mengacungkan jari telunjuknya mengarah ke atas, ke sebuah papan yang berada diatas Radit, “Ini UKS cewek” Ucapnya datar.
Bodohnya kamu, Dit. Radit mengumpat dalam hati.
  “Oh..” Radit menanggapi dengan ekspresi tak kalah datar seakan dirinya tak melakukan kesalahan apapun.
 Vera berkacak pinggang, “Jadi aku beritahu ya, Radit. Sekolah ini UKS cewek dan cowoknya dipisah. UKS cowok ada dibelakang ruang UKS cewek. So, kamu gak bisa masuk UKS ini kecuali kamu menobatkan diri menjadi cewek” Vera mengucapkan semua kalimatnya membelakangi Radit, ia sedikit terkekeh karena ia tau Radit pasti malu sekali.
Teeeett..Teeeet!
Vera membalikkan badannya dan masih mendapati Radit masih dibelakangnya, ia berjalan mendekati Radit, “Minggir aku mau istirahat..” Vera keluar dari UKS dan sedikit menyenggol lengan Radit, “Makanya jangan sok tau.” Ucap Vera lirih tepat di telinga Radit.
Radit masih terpaku di depan ruang UKS, tangannya mengepal, “Tunggu pembalasan gue, Ver” Ucapnya pada dirinya sendiri lalu meninggalkan tempat itu.
--
Vera bangun dari tidurnya, lagi-lagi ia memimpikan masa lalunya bersama Radit. Orang yang sudah hampir empat tahun mengisi celah di hatinya. Radit, yang waktu itu adalah siswa baru kelas dua SMP Mahakarya yang sekaligus menjadi teman bangku Vera selama kelas dua. Mantan kekasih Vera setelah menjalani hubungan selama hampir dua tahun.
  “Kak Ver..” Seseorang dari luar yang tak lain adalah Rey mengetuk pintu kamar Vera.
  “Ya, Rey. Aku udah bangun” Vera menyahut dari balik kamar. Setelah itu terdengar suara langkah kaki menjauh dari kamar Vera.
Vera menghela nafas berat. Ia turun dari tempat tidur dan merapikannya. Langkahnya terseok menuju kamar mandi yang berada di pojok ruangan kamarnya. Kamar Vera cukup besar. Awalnya kamar itu untuk Ria yang sudah menyandang status mahasisiwi tapi Vera merasa kamar dengan kamar mandi itu terlihat sempit.
Air shower yang diatur Vera hangat membasahi tubuhnya. Seakan-akan rasa lelah ikut mengalir kebawah bersama sabun yang dipakai Vera. Vera mengambil shampo dan memakaikannya pada rambut sebahu berwarna sedikit kecoklatan miliknya.
Vera mengambil hairdryer miliknya dan mulai mengeringkan rambutnya. Seragam putih abu-abu sudah rapi dipakainya. Selesai mengeringkan rambut ia menyisir dan menguncir kuda rambut miliknya dan menyisakan bagian depan untuk poni. Dia melihat pantulan dirinya di cermin lalu tersenyum. Diraih tas berwarna tosca miliknya dan keluar kamar.
Di meja makan  hanya ada Ayah dan Rey yang sedang memakan nasi goreng buatan Bundanya, “Pagi, Yah” Sapa Vera sambil mengecup kening Ayahnya.
  “Pagi..” Ayahnya menjawab sambil masih asik membaca koran paginya.
Seorang wanita berwajah cantik keluar dari dapur, “Ver, nanti pulang sekolah kamu sama Rey beli makan siang ya. Bunda enggak dirumah nanti siang, ada acara di kantor Ayah.” Ucap Hesti, Bunda Vera.
Vera mengecup kening bundanya, “Gampanglah Bun, kalok aku sama Rey makan dikit aja udah kenyang.” Ucap Vera lalu duduk di kursi samping Rey.
  “Kamu gakpapa,Ver. Rey itu ntar kumat maag-nya” Nasihat Bunda Hesti.
  “Rey kan emang nyusahin, Bun” Ucap Vera sambil menyuap nasi gorengnya.
Ayah Vera, Bagus berdecak “Ck, Vera bicaranya..” Ayah Vera menasihati anak perempuannya.
  “Iya,iya Yaahh..” Vera hanya menjawab sekenanya.
Rey terkekeh, “Makanya,Kak jangan jahatin adikmu yang paling ganteng inilah. Banyak yang protes kan jadinya” Ucap Rey sambil membelakangkan rambut dikepalanya.
  “Hmm..” Vera menggumam.
Rey melajukan motornya menuju SMA Perdana, dibelakangknya Vera menggonceng. Setiap hari selalu begitu. Vera dan Rey berangkat bersamaan. Hal itu juga tidak membuat Vera atau Rey malu bila ada beberapa anak yang mengira mereka pacaran. Kadang mereka malah berkata atau lebih tepatnya mengenalkan bahwa mereka adalah sepasang kekasih dihadapan orang-orang yang terlihat sinis dan sok tau terhadap mereka.
  “Thanks, Rey” Ucap Vera setelah turun didepan pos satpam.
Baru saja ia akan melangkahkan kaki, ia mendapati seseorang berdiri didepan pintu masuk. Dia mengenali dan sangat hafal siapa orang itu sekalipun jarak pos satpam dengan pintu masuk hampir sepuluh meter.
Vera menarik lengan Rey yang siap mengegas motornya, “Gue ikut lo ke parkiran aja deh, Rey” Vera membonceng lagi pada motor Rey.
  “He? Kenapa?” Rey tampak kebingungan dengan tingkah kakaknya yang satu ini.
 “Udah ayo buruan gak usah banyak tanya” Vera menjawab sambil memukul pundak Rey pelan tapi berkali-kali.
  Rey belum menuruti perintah kakaknya, matanya mencari sesuatu yang membuat kakaknya seperti itu, “Ooh..” Rey sudah mengerti kenapa, ia langsung mengegas motornya menuju parkiran melewati halaman SMA Perdana yang cukup luas dan tentunya melewati orang yang membuat Vera bertingkah aneh pagi ini.
Orang itu tersenyum miring, ia tau bahwa Vera baru saja melewatinya dengan alasan tak mau bertemu ia pagi ini. Itu sudah pasti.

  Lo udah nunggu gue, saatnya sekarang gue yang nunggu elo. Tapi cara kita beda, Vera. Beda. Batin orang itu lalu melangkah meninggalkan pintu masuk SMA Perdana.

Sewindu Bersama Bayang Semu

kan pernah aku bilang, jangan menunggu terlalu lama kan pernah aku bilang, jangan menjaga kepastian yang hampa kan pernah aku bilang, jang...